[caption caption="Tidak tersedianya jalur untuk para difabel menyulitkan mereka. Foto oleh metro.tempo.co"][/caption]
Deklarasi tentang Hak-Hak Penyandang Cacat (Declaration on the Rights of Disabled Persons) menjelaskan bahwa penyandang cacat (difabel) berhak untuk memperoleh upaya yang dapat memudahkan mereka untuk menjadi mandiri atau tidak tergantung pada pihak lain. Untuk mewujudkannya, banyak pemerintah di dunia menetapkan kebijakan yang mengatur dan menjamin akses difabel terhadap perumahan, gedung, transportasi, jalan dan bentuk ruang publik lainnya. Dengan demikian, diharapkan pembangunan ruang publik kota tidak hanya untuk dinikmati orang normal saja, namun juga berlaku bagi para difabel.
Sayangnya selama ini para difabel masih dijadikan sebagai objek yang tidak dilibatkan dalam konsultasi perencanaan pembangunan ruang publik di Indonesia. Akibatnya, bentuk sarana dan prasarana ruang publik masih jauh dari konsep ramah kepada para difabel. Jangankan kepada para difabel, kepada masyarakat yang normal saja tidak ramah.
[caption caption="Trotoar di Indonesia masih tidak ramah terhadap para difabel / Foto oleh Prima Aulia"]
[/caption]
Hal ini nampak pada trotoar di Indonesia yang masih dalam kondisi buruk, berlubang dan tidak rata serta belum memenuhi standar kelayakan. Di beberapa sudut kota di Indonesia, banyak trotoar yang disalahgunakan menjadi tempat berdagang sehingga menimbulkan suasana yang kumuh dan semrawut. Para pejalan kaki juga terganggu karena trotoar seringkali digunakan sebagai tempat parkir maupun pot bunga sebagai penghias tata ruang kota, sehingga ruang gerak pejalan kaki menjadi semakin terbatas. Pembangunan infrastruktur untuk pejalan kaki masih mementingkan aspek estetis ketimbang fungsionalnya.
Selain sulit, kondisi trotoar di Indonesia juga cenderung tidak aman bagi keselamatan para penggunanya. Berdasarkan data Kepolisian, setiap harinya tercatat rata-rata 18 pejalan kaki meninggal di Indonesia pada 2014. Dari jumlah itu, menurut Koalisi Pejalan Kaki, sekitar 80 pejalan kaki tewas di Jakarta setiap tahunnya.[1] Jika pejalan kaki normal saja kesulitan, bagaimana dengan pengguna tongkat atau kursi roda?
[caption caption="Bagaimana mungkin difabel dapat menggunakan jalur ini? / Foto oleh Citro Jogja"]
[/caption]
Tidak hanya trotoar, halte bis di Indonesia juga tidak ramah terhadap para difabel yang lumpuh. Kebanyakan pintu masuk halte bis di Indonesia tidak menyediakan jalur (atau ram) yang landai agar dapat dilewati kursi roda. Walaupun ada, seringkali jalur tersebut dengan kecuraman hingga 45 derajat, sehingga para difabel yang lumpuh kesulitan untuk menaikinya.
Sementara itu lampu lalu lintas juga menjadi kesulitan tersendiri bagi difabel yang buta warna. Walaupun sudah diberikan panel khusus penghitung mundur, para difabel masih kesulitan untuk membedakan apakah hitungan mundur tersebut berwarna merah atau hijau. Sebab mereka yang buta warna melihat semuanya sebagai abu-abu.
[caption caption="Jika lampu lalu lintas tidak dilengkapi panel ikon? Bagaimana caranya penyandang buta warna dapat membedakan tanda lampu lalu lintas? / Foto oleh Subekti"]
[/caption]
Fakta di atas menjadi contoh bagaimana sarana dan prasarana dalam ruang publik kota tidak dirancang dan tidak berpihak kepada para difabel. Padahal, kota yang ramah tidak hanya diukur melalui tingkat kepuasan warga yang normal saja, tetapi juga mereka para difabel. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 ayat 5, menjelaskan bahwa “rencana teknis jalan wajib memperhitungkan kebutuhan fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat”. Ini jelas bahwa pejalan kaki dan difabel perlu diperhitungkan karena merupakan bagian dari lalu lintas.