Kisah cinta Stef dan Mei pada salah satu episode cinta di tahun ke-3 setelah pandangan pertama.
(Manado, medio tahun 1990-an)
Tak nampak rembulan menghiasi malam juga bintang-bintang enggan bertandang. Hanya sisa-sisa gerimis yang ada, tersapu bayu dan hinggap cepat di wajah seorang gadis belia yang sementara duduk dibalik jendela mikrolet yang terbuka.
Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, berkibar menebarkan wangi aroma Sun-Silk sedangkan segar- semerbak sabun Biore merebak dari tubuhnya yang sedikit berkeringat.
Gadis itu terpaksa harus membuka sedikit jendela mikrolet karena hujan lebat sore tadi membuat udara di dalam alat transportasi umum di kota Manado itu pengap.
Tak mengapa wangi Sun-Silk-Biore di tubuhku luntur, batin gadis itu sambil melemparkan pandangannya keluar jendela.
Mei, begitu nama gadis beraroma Sun-Silk-Biore. Dia duduk terhimpit di sudut bangku paling belakang oleh dua ibu paruh baya yang bercerita tentang naiknya harga bahan-bahan pokok.
Perlahan-lahan gadis itu, berusaha menarik kakinya yang tertindih barang belanjaan ibu-ibu itu.
"Oh, adoh cewek, maaf ne." Ibu yang duduk disebelahnya meminta maaf.
"Oh, nda apa-apa," jawab Mei tersenyum. Baginya, hal seperti itu adalah hal yang sudah biasa.