"Anda tidak boleh memejamkan mata. Lihat! Dia akan tumbuh menjadi bayi yang tampan."
Oh, kenapa dia tidak membiarkan aku istirahat. Aku hanya ingin memejamkan mata. Tolong jangan ganggu aku.
Pagi yang cerah tanggal 13 Oktober 2007. Aku membuka jendela membiarkan hawa segar masuk memenuhi ruang tidurku. Daun pohon birke dan ceri di halaman sudah berwarna kuning, sedang pohon ahorn milik tetangga sudah berwarna merah.
Meskipun aku dan keluargaku tidak ber-Idul Fitri, tapi aku teringat akan sahabat-sahabatku di Indonesia yang sedang merayakan hari ini. Ada yang melaksanakan sejak kemarin dan ada yang nanti hari ini, seperti umat muslim di Jerman.
Tetanggaku di belakang rumah ber-kewarganegaraan Kosovo-Albania, begitu dia selalu menyebut. "Saya orang Kosovo tapi besar di Albania". Dia berkata seminggu sebelumnya kepadaku "Kalau kamu ada waktu, mampir ya...ada Borek."
Aku masih membuang pandangannku ke luar jendela, menarik napas dalam-dalam mengisi semua ruang di paru-paruku sambil mengingat percakapan dengan dokter kemarin. Seharusnya, tanggal persalinanku seperti perhitungan dokter masih 2 minggu lagi.
"Jika, besok bercak-bercak merah di pakaian dalam Anda masih datang juga maka baliklah kemari."
Semalam aku susah terlelap karena memikirkan kata dokter itu. Meskipun demikian aku tidak terlalu berdebar-debar seperti persalinanku yang pertama. Kontraksi pun belum aku rasakan.
"Mami, sudah kubikinkan kopi." Lembut terdengar suara suamiku di telingaku sambil kedua telapak tangannya memegang bahuku. Sapaan "Mami" dan "kopi di akhir pekan" adalah kebiasaan lelaki itu sampai sekarang. Tidak berubah.
"Pelan-pelan saja. Minum dulu baru ke kamar mandi. Aku akan menyiapkan segalanya."