Bertahun-tahun aku meyakinkan diri bahwa aku sudah beranjak dari hatimu. Tapi kedatanganku di benua ini bagai membuka luka lama. Aku tak akan lupa teleponmu, Senja, di hari itu, di pukul 2 siang lebih sedikit.
"Pram, jangan lagi mencari atau menungguku. Aku besok akan meninggalkan Indonesia. Aku..."
Lirih ucapanmu menggantung, selirih bisikanmu yang pernah akrab di telingaku.
"Pram, aku sudah menikah."
Aku berasa mati meskipun toh masih hidup sampai saat ini.
Ini adalah tahun yang ketujuh sejak telepon itu.
Kurapatkan syal berwarna gelap dan bermotif kotak-kotak yang melingkar di leherku. Warna pohon keemasan karena daun-daunnya yang sudah menguning dan hembusan dingin angin musim gugur di bukit Montmartre menghidupkan kembali semua kenangan juga masa-masa indah yang pernah kita lalui bersama sejak curi-curi pandang sampai awal kedekatan kita.
Di kotamu empat belas tahun yang lalu. Di warung telekomunikasi.
Terberkati aku! Hatiku berdegup melihatmu di sana, sore itu.
Aku menyambutmu tersenyum saat kamu keluar dari bilik telepon dan kamu membalasku dengan senyuman rikuh karena merasa dari tadi kuperhatikan.