Lelaki mantan pelaku kejahatan itu keluar dari bilik jeruji besi. Naik mesin besi, menuju stasiun televisi. Wajahnya tak pucat pasi. Masuk layar televisi.
Lelaki itu, disambut bagai pahlawan, nikmati alam bebas. Diberitakan pers bebas. Sementara, di sudut lorong, sang korban, malu lalu-lalang bebas.
Lelaki itu, katanya diboikot. Media sosial menjadi saksi. Penggemar mengambil aksi. Akun-akun menjadi sensi. Tak disangka, boikot itu menjelma menjadi mahluk seksi.
Cancel culture, budaya boikot. Sebuah kabar buruk, menjadi berita baik. Naik cetak, naik panggung tivi, baik-baik saja.
Kabar boikot di-upload. Tagar-tagar tak menyetop. Iklan gratis di linimasa tak bisa diboikot. Yang setuju boikot menulis namanya. Yang diboikot, makin ngetop.
Semuanya berulang. Klop! Nama lelaki itu semakin ngetop. Mesin pencari tak susah mencari. Google trends menjadi saksi. Semakin ngetop, karena berita berbusana seksi.
Lelaki itu, diboikot tetapi makin top. Aku tak usah menulis namanya, kuatir dia makin dan makin ngetop.
Biarlah kusebut dalam doa, semoga perilaku buruk disetop. Doa jangan diboikot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H