Kepada rembulan aku mengadu. Tentang seribu purnama yang telah lewat. Tentang hari-hari yang dimakan waktu. Tentang bulan-bulan di lembaran almanak. Tentang tanggal-tangal kelabu. Tentang linimasa yang meledakan kecemasan.
Kepada rembulan aku menggantungkan asa. Tentang cita yang terbang memeluk bulan. Tentang cinta dan harmoni yang awet melintasi sejuta purnama. Tentang senyum rembulan di malam gelap mencemaskan.
Tetapi, rembulan menolak pengaduan dan asaku.
"Aku bukan tempat mengadu dan gantungan asa." Begitu nada sang rembulan. Sambil tersenyum.
"Aku hanyalah lukisan tentang keindahan yang fana. Yang cemas di kala gerhana. Yang menggantungkan asa kepada Pencipta kita," ungkapnya lagi.
Dan, kepada rembulan aku belajar. Tentang alamat pengaduan dan asa. Yang sebenarnya dan seharusnya. Yang sering terlupakan: Tuhan manusia dan rembulan. Penguasa jagad raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H