Tak kutahu 'kan hari esok.
Apakah senyuman langit masih secerah biru yang mencumbu putih, ataukah mendung yang bermain hujan lalu basah dengan air mata.
Apakah pepohonan masih setia kidungkan hijau semangat, dan angin tanpa warna masih berbisik mesra tentang asa dibalik senja, dan harapan setelah gelombang yang tak bosan menerpa pantai dan dermaga yang tabah.
Apakah kerikil jalanan masih mengaku kalah kepada langkahku seperti kemarin, dan telapak kaki masih sanggup menepis keluh, lalu setia mencipta jejak bercampur peluh. Ataukah tak ada lagi jejak tercipta, dan yang ada hanya keluh yang luluh dan terjatuh di atas debu, lalu tubuh berlalu kembali menjadi debu.
Tak kutahu 'kan hari esok.
Apakah kita masih bisa bersama, dalam lemah yang mencoba berbagi senyum dan semangat, sekalipun langit tak tersenyum dan pelukan bumi tak sehangat dulu. Ataukah kita tak lagi bersama, karena di langit sana telah tersedia tempat terindah, yang siap dihuni sang fana, seturut waktu Sang Khalik. Lalu, yang tersisa hanya air mata yang sementara, cinta di dalam hatimu, pusara yang berdebu dan bait-bait puisi ini.
Tak kutahu 'kan hari esok.
Namun ku harus melangkah, entah tegap atau tertatih, sambil tak lupa mengucap maaf untuk segala lemah insan fana, yang hanya mampu memanah buah-buah sederhana, tiada sempurna, dalam lemah dan pelukan semangatmu.
Tak kutahu 'kan hari esok, namun ku harus terus melangkah dalam dekapan doa dan pasrah, sambil memohon belas kasih Sang Pemilik Esok, yang berkuasa mencipta hari esok: untukmu, untukku dan untuk kita, yang tak tahu apa-apa 'kan hari esok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H