Lihat ke Halaman Asli

Meidy Y. Tinangon

Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

Perang dan Sang Pemenang

Diperbarui: 19 Mei 2021   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: AFP Photo, Youssef Massoud via Kompas.com

Jauh di negeri orang, perang benderang. Roket menerjang, insan pun tegang, tubuh meregang, lalu, nyawa melayang. 

Atas nama sejarah, atas nama kuasa, atas nama kehormatan, atas nama negara, atas nama agama, atas nama yang suci, atas nama Tuhan. Perang!!!

Sementara, rakyat jelata, anak-anak dan kaum lemah, dengan simbol-simbol kesucian yang berbeda, saling berpelukan, tak bisa apa-apa, selain terpaksa menjadi korban, bukan pahlawan, apalagi pemenang. 

Gedung-gedung tak berdosa, menangisi kehancurannya. Lalu, puing-puing air mata membasahi tubuh sang korban. Asap mengudara sambil melagukan kidung elegi dan menyiarkan kabar duka dan siksa.

Di istana, sang pemenang bersorak gembira kepada kehancuran, menari di atas panggung darah dan air mata. Memeluk erat piala kezaliman. Merayakan apa yang dia sebut sebagai: kemenangan!

Lalu, Suara dari Langit terdengar. 

Marah! 

Air mata jatuh dari Langit.

Sedih...

"Engkau bukan sang pemenang. Engkau adalah kekalahan. Engkau kalah oleh kepintaranmu, oleh egomu!" ungkap Suara dari Langit. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline