Semangat membara itu, berganti kepedihan. Tak hanya raga. Hati merintih, ketika jatuh saat terbang hendak menggapai bintang.
Tak hanya sakit, malu pun tak bisa disembunyikan, ketika jatuh menjadi tontonan pepohonan dan rumput, bahkan bebatuan yang sepertinya mengharapkan kejatuhan itu. Mereka tertawa dalam kemenangan.
Sial....!!!
Jatuh, sakit dan malu. Tapi apa daya. Raga tak bisa menolak. Memang sudah nasib. Sayap-sayap runtuh tak berdaya.
Tanah..... !!!
Aku jatuh mencium tanah. Hanya tanah yang selalu tabah menerima sejuta kejatuhan. Tak pernah dia mengeluh dengan segala beban yang menindih. Hanya tanah yang datang menghibur.
"Rebahlah di pelukanku. Engkau tercipta dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Syukuri kejatuhan ini. Karena meskipun kau jatuh, kejatuhan ini belum membuatmu kembali menjadi tanah."
Akupun menikmati pelukan sang tanah, yang menghisap segala perih. Diambilnya akar rumput membalut luka.
Tetiba, saat kurebah dalam pelukan sang tanah. Langit biru mengutus para malaikat turun membawa bintang. Mereka berbisik: "bintang tak selamanya kau peluk di tempat ketinggian. Dalam jatuh di lembah kesabaran, di tanah ketenangan, bintang dapat kau peluk. Atas seijin Pemiliknya."
Lalu malaikat-malaikat itu mengidungkan lagu: "setiap jatuh dan samsara, selalu ada hikmah kehidupan. Jangan selalu memikirkan bintang, sebab akan jatuh jua. Biarlah jatuh dan belajarlah pada tanah. Sebab disanalah rerumputan dan pepohonan berakar dan minum air kehidupan. Disanalah raja dan rakyat sama-sama berharap padi dan beras yang menjelma menjadi nasi."