Lihat ke Halaman Asli

Meidy Y. Tinangon

Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

Kisah Sang Jejak di Tapal Batas Perhentian

Diperbarui: 29 November 2020   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

todayifoundout.com 

Langkah demi langkah mencium bumi, mencipta jejak tanpa jeda dalam lintasan waktu. Menyaksikan sang bumi dalam beragam rupa, kadangkala hijau tersenyum, seringkali gersang bersamsara, yang silih berganti singgah di mata dan menyentuh relung hati. 

Langkah demi langkah penuh semangat menembus lorong waktu yang tak pernah terlelap, yang terus berdetak.  Mentari dan rembulan setia menemani hingga melewati sekian kali gerhana dan purnama. Aku terus melangkah. 

Suatu ketika, tibalah aku di suatu tempat. Kulihat patok pemisah antara dua ruang episode, tegak berdiri sambil menertawakanku. Entah apa maksudnya, patok pembatas itu terus tertawa ketika diri ini mencoba melangkah pergi melintasi batas episode. Dia terus tertawa, sementara aku mencoba melangkah.

Lalu, langit biru bermetamorfosa menjadi mendung. Kelabu mewarnai tapal batas, aku tak bisa mengayunkan langkah lagi. Raga menjerit, terkapar tanpa daya. Sepasang jejak kaki tiada tercipta lagi. Aku terhenti di tapal batas. 

Hari itu alam berkisah tentang batas-batas kemampuan, dan syair puisi berkisah tentang baris hampa di antara bait.  Bahwa langkah sang insan tiada kamil *).  Dia butuh tapal batas perhentian, untuk menghela napas, untuk menambah pundi-pundi semangat, untuk memulihkan raga yang letih, untuk bercermin dan terus becermin, hingga akhirnya, langkah-langkah sang insan siap melukis jejak-jejak baru setelah terhenti di tapal batas insani...

---

*) kamil = sempurna




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline