Adalah peluh menembus pori lalu jatuh di lautan kehidupan, berpadu bersama gelombang, lalu terhempas di pantai sambil menantikan akhir sebuah kisah tentang pengorbanan.
Dia adalah butiran molekul cair yang terpaksa keluar meninggalkan sebuah tempat yang berhiaskan kenyamanan dan ketenangan, dalam sebuah pendakian di bukit cita.
Peluh demi peluh tiada henti menetes ke bumi, dari sang raga yang teguh, sambil menyanyikan kidung bernada asa tentang kristal sampah yang berharap menemukan jalan metamorfosa menjadi permata.
Suatu ketika, dalam penantian panjang di negeri kesabaran, merpati putih bermahkota ketulusan, melintas di langit biru penuh harapan. Terbang sambil memeluk sepucuk surat, berisi kabar kepada peluh yang tabah merawat harapan dalam penantian.
Wajah sumringah sang peluh memancarkan cahaya kemenangan ketika membaca surat dari sang raga yang menjatuhkannya ke bumi yang gersang. Sepucuk surat singkat berisi ucapan terimakasih dan selembar foto tentang permata yang kini mengisi ruang yang ditinggal sang peluh.
Merpati putih terharu, menyaksikan kisah tentang jerih payah yang tak sia-sia. Meskipun sang peluh tak kunjung menjadi permata. Karena memang dia tercipta bukan untuk menjadi permata, tetapi adalah jalan pengorbanan untuk memeluk permata di sebuah puncak pendakian sang karya di bukit cita dan cinta.
Terimakasih untuk setiap tetesan pengorbananmu. Tiada permata kan ku peluk tanpa peluh yang jatuh ke bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H