Bahwa sesungguhnya politik itu mulia. Dia adalah asa tentang kehidupan. Intrik hanyalah kelingking. Jempol adalah pembuktian. Siapa dipercaya, dialah sang pemimpin. Acungkan jempol padanya. Berilah dia mahkota emas.
Bahwa sesungguhnya kuasa bukanlah sebuah puncak. Memang, mahkota ada di kepala penguasa. Dan, benar, perintah tersiar dari istana. Namun, landasan tempat pesawat mendarat, adakah dibangun di puncak gunung? Tak ada! Kuasa harus mendarat di dataran, dimana rumput dan akar rumput menari menjemputnya. Biarkanlah istana kosong ditinggal pemiliknya yang berziarah kepada nurani, manusia yang mendamba sentuhan.
Bahwa sesungguhnya, politik dan kuasa, hanyalah hamba
Kepada kehidupan.
Kepada sejahtera.
Kepada harmoni.
Kepada keadilan.
Kepada kemakmuran.
Mereka yang sering tenggelam oleh hiruk pikuk orasi para kandidat, sesungguhnya adalah tuan. Kepada merekalah sang politik dan kuasa mengabdi.
Piramida harus kau balik, dan biarkan dia menancap ke dasar bumi. Biarkan mereka jumlahnya besar, berada di atas kuasa yang kuat. Biarkanlah sang kuasa memuja mereka. Karena untuk merekalah dia ada. Karena merekalah tuan dan nyonya dari pemegang daulat.
Perempuan tua, dalam bayangan datang menyapaku yang dalam termenung sambil menyeruput kopi pahit. Lalu diucapnya kumpulan kata: "Anakku, berpikirlah seribu kali sebelum engkau berniat meraih mahkota dan duduk di kursi singgasana. Renungkanlah, bersediakah engkau menjadi hamba?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H