Perempuan itu ternyata telah ditinggal kekasih hati, sejak si bungsu menghela napas di tahun pertama ziarahnya di planet bumi. Sejak saat itu, separuh napas terbang ditelan langit dan lebih dari separuh daya hancur menjadi debu.
Dalam kesendirian, menapaki jalan penuh kerikil tajam dan lorong berhias kegelapan, rasanya ini adalah kisah tragis di garis finish. Namun, ternyata garis akhir masih jauh.
Dipetiknya napas-napas peninggalan sang kekasih. Dikumpulkannya serpihan-serpihan debu. Dicampurnyalah napas dan debu warisan cinta itu ke dalam seember air yang ditimba dari Danau Tondano. Udara, tanah dan air menyatu menjadi ramuan semangat.
Sering ramuan semangat itu bercampur peluh. Di saat tertentu yang tiada pasti, tanpa disadarinya air mata menetes dalam segelas semangat. Bahkan terkadang setetes darah mengubah semangat menjadi merah.
Perempuan itu tak peduli. Berapa liter keringat terperas. Berapa gelas air mata telah tercurah. Berapa tetes darah telah jatuh ke bumi. Yang dia tahu, dia harus berjuang untuk sebuah masa depan. Bukan masa depannya, karena dirinya tak dia hiraukan. Tak ada kemewahan yang membalut tubuhnya. Baginya, juangnya adalah untuk anak-anaknya.
Perang hidup tiada henti. Perempuan itu tak menyerah. Dia terus berjuang dengan peluh, air mata dan darah. Meskipun dia dalam kesendirian.
Hingga akhirnya, perempuan itu pergi berlalu memasuki gerbang keabadian. Tak ada harta berharga yang ditinggalkannya, selain semangat heroisme seorang perempuan dalam kesendirian.
Terima kasih pahlawanku,
dari si bungsu,- (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H