Aku adalah larik-larik dalam bait sajak yang ditulis ayah dan bunda di atas sobekan kertas usang bermandikan peluh, air mata dan darah. Aku mengada di dalam sajak pada selembar kertas dari langit, yang dititipkan Sang Khalik kepada ayah dan bunda, dan suatu ketika helaian kertas itu hampir hilang ketika ayah dan bunda dipanggil pulang ke rumah kekekalan.
Aku hanyalah bait-bait sajak sebatang kara yang dicipta dengan diksi sederhana yang mudah dipahami ketika bait demi bait dibacakan di panggung sandiwara dunia. Namun sayang, sudut-sudut bumi masih buta aksara dan di pusat kota banyak yang buta hati. Mereka pura-pura mengangguk, lalu meninggalkan sang pembaca syair berdiri sendiri di atas panggung sambil membacakan bait-bait sajak kepada sampah dan kepada rumput.
Aku adalah sajak yang merangkum kisah elegi dan romansa dalam sebuah judul tentang kefanaan. Suatu ketika entah kapan sehelai kertas akan hilang ditelan bumi, atau mungkin hangus terbakar api dunia, lalu tertinggal aksara-aksara yatim piatu yang tinggal berharap sempat terekam dalam memori, kepada mereka yang mencintai sajak itu. Sebab sehelai kertas adalah fana, namun sajak-sajak pada sehelai kertas itu adalah abadi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H