Lihat ke Halaman Asli

Meidy Y. Tinangon

Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

Sejuta Makna Ketika Komisioner KPU Berseragam Bawaslu

Diperbarui: 30 Juli 2020   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosialisasi Penyelesaian Sengketa Pemilihan 2020 || Dokpri, Photo by. KPU Boltim  

"Saya kirim kaos, mohon digunakan," begitu pesan WhatssApp yang saya terima dari sobat Pimpinan Bawaslu Sulut, Awaluddin Umbola yang biasa disapa Ewin.  Tak perlu berpikir panjang, saya pun menjawab  pesan WA tersebut. "Siap!!!" jawab saya.

Hari itu, Rabu (29/7)  saya diundang menyampaikan materi dalam kegiatan "Sosialisasi Penyelesaian Sengketa" yang digelar Bawaslu Provinsi Sulut di Bolaang Mongondow Timur.  Kaos pemberian rekan Bung Ewin tersebut, saya gunakan disaat menyampaikan materi di hajatan penting dan strategis itu. Berwarna hitam, bersablon logo Bawaslu dan bertuliskan "Divisi Penyelesaian Sengketa".  

Membagi-bagikan kaos untuk digunakan dalam suatu hajatan, sebenarnya adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun, bagi saya ada makna yang terkandung dalam kisah yang bagi sebagian orang dianggap biasa-biasa saja.  Makna tersebut merupakan potret masa lalu dan masa kini dalam relasi KPU-Bawaslu.

Pertama, potret masa lalu. Pernah dalam suatu era, relasi KPU dan Bawaslu (Panwaslu) dianggap layaknya seperti film "Tom and Jerry", sebuah serial animasi Amerika Serikat hasil produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing (Tom) dan seekor tikus (Jerry) yang selalu bertengkar, kejar-kejaran, berantem.  

Jika masa "Tom and Jerry" itu masih ada, maka tak mungkin akan terjadi, Pimpinan Bawaslu Provinsi memberikan sebuah kaos berlogo institusinya untuk dipakai komisioner KPU. Dengan demikian, kisah biasa-biasa ini hendak menegaskan, era "Tom and Jerry" dalam relasi KPU-Bawaslu telah berakhir. 

Kedua,  memotret relasi KPU-Bawaslu era sekarang. Undang-undang Pemilu telah menegaskan bawa KPU-Bawaslu dan DKPP sama-sama adalah kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu (termasuk Pilkada). Dapat diibaratkan sebuah rumah dengan 3 kamar: kamar pelaksana (KPU), kamar pengawasan (Bawaslu) dan kamar peradilan etika (DKPP). Satu rumah dengan 3 kamar sekalipun dengan  fungsi berbeda. Namanya satu rumah, maka otomatis ketiganya bersaudara. Kalau bersaudara maka tak perlu berkelahi. Kalau berkelahi, berarti ada hal-hal yang menjadi penyebab kakak beradik, tinggal serumah kemudian berkelahi.

Apa penyebab utama perkelahian antar saudara? penyebab utamanya adalah miss-komunikasi dan dan miss-persepsi. Kalau begitu, bagaimana cara agar kondisi kehilangan atau kekurangan komunikasi dan perbedaan persepsi bisa diminimalisir? Tak ada cara lain yang paling ampuh, selain komunikasi dan koordinasi. 

Penting bagi masing-masing penyelenggara Pemilu menghargai fungsi dan kewenangannya, sekalipun dalam hal-hal tertentu benturan tak terhindarkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing lembaga. Benturan tersebut jika terjadi, harus diselesaikan dengan senjata komunikasi konstruktif. 

Komunikasi yang konstruktif akan terjadi jika masing-masing pihak saling memahami kedudukan dan kewenangan. KPU memaklumi Bawaslu sebagai pengawas setiap tahapan yang dilaksanakan KPU, demikian juga sebaliknya, Bawaslu memaklumi bahwa tanggung jawab melaksanakan teknis tahapan ada pada jajaran KPU.

Pemberian kaos merupakan strategi komunikasi Bung Ewin kepada saya. Jika kaos bisa bicara, mungkin dia akan berucap, "ingatlah aku, kini kita menyatu".  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline