Work From Home (WFH) dan sahabatnya Stay At Home (SAH) sebagai strategi perlawanan dengan menghindar (resistance by avoiding) telah dan akan berakhir berganti new normal. Bagi saya WFH dan SAH memberi efek yang sangat besar dalam banyak hal. Satu hal yang terbesar adalah WFH-SAH membuat cinta lama saya dengan Kompasiana nyambung lagi. Teman-teman Kompasianer lainnya, produktivitasnya bertambah. Kini, ketika WFH-SAH berganti new normal, apakah ngompasiana akan ditinggalkan?
Kisah berseminya cinta lamaku dengan Kompasiana adalah sebagaimana pernah saya kisahkan dalam konten: Maafkan Aku Sayang, Cinta Lamaku Bersemi Kembali
Efek WFH-SAH sangat signifikan. Sejak menjadi member Kompasiana tahun 2012 hingga sebelum WFH, saya hanya mengoleksi 4 konten. Di masa WFH-SAH sejak tanggal 14 April hingga saat ini, 104 konten menjadi buah produktivitas menulis di masa WFH-SAH. Hal ini berarti rata-rata upload konten selama 52 hari adalah 2 konten per hari.
Sejak kemarin, saya sudah mulai ngantor rutin lagi. Tahapan Pilkada yang akan digulir lagi setelah sempat terhenti tentu saja akan sangat menyita waktu. Saya pun punya sekitar 6 blog yang saya aktifkan lagi di masa WFH. Sempat terlintas dalam perjalanan ke kantor kemarin: "Apakah saya akan berhenti menulis di Kompasiana?"
Dari segi waktu sepertinya susah. Namun, terlalu berat untuk mengatakan "goodbye Kompasiana."
Meninggalkan Kompasiana bukan hanya meninggalkan media warga berplatform blog. Meninggalkan Kompasiana berarti akan kehilangan inspirasi dari para Kompasianer yang hebat, yang selama hampir 2 bulan telah saling mengenal, saling menyapa, saling comment, saling menyemangati dan saling berbagi tulisan menghibur, unik, menarik, inspiratif, bermanfaat dan aktual.
Meninggalkan Kompasiana berarti tak akan mendapatkan inspirasi dari sejumlah penulis hebat mulai dapi para senior, sebut saja Bunda Rose dan Pak Tjip, Pak Rudi, Pak Ketut dan masih banyak lagi. Juga para generasi penerus dekar kata lainnya, mbak Fatmi, Hera, Henny, Putri, Any, Nita dan masih banyak lagi....
Kompasiana bukan hanya wadah untuk menulis, tapi juga wadah persahabatan, persaudaraan dan inspirasi. Juga merupakan wadah berbagi makna dan inspirasi. Ber-kompasiana bukan soal rupiah tapi nilai hidup.
Saya akhirnya memutuskan akan tetap ngompasiana. Sekalipun ritme-nya akan berkurang. Bagi saya, menulis harus bergerak dari sekedar hobi. Menulis harus menjadi sebuah budaya/kultur peradaban sepanjang masa:
"Menulis adalah hobi sejak masa old normal, sahabat di masa WFH dan kultur di masa new normal, hingga selama hayat dikandung badan"
Kerja adalah kewajiban, menulis adalah hak asazi konstitusional.