Instagram-IGTV || Meidy _ Y_Tinangon
Tadi pagi, menerima kiriman video dari rekan sekerja yang juga seniman penyair, namanya Jamal Rahman Iroth, seorang muslim yang taat. Video tersebut berisi rekaman ketika sobat seniman yang juga Ketua KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Timur tersebut membacakan puisi saya berjudul "Pesta Kami, Duka Sang Raja", yang sempat tayang di kompasiana.com (Klik disini untuk membacanya). Kiriman video di group kami tersebut, diiringi kata: "Ampuni Kami ya Raja Kami.... Happy Sunday, teman-teman..."
Sejujurnya, puisi tersebut berlatar belakang refleksi kehidupan pada umumnya namun dengan basic pemahaman teologis sesuai agama yang saya anut, Kristen Protestan. Hal ini nampak dalam penggunaan diksi/pilihan kata "Sang Raja", yang menunjuk pada Tuhan, Raja di atas segala raja.
Usai menonton video tersebut, rasa haru merasuk diri. Terkesan dengan hasil pembacaan puisi karya sendiri. Indah didengar dan makin bermakna, apalagi yang membaca adalah ahlinya.
Berulang kali video itu saya tonton kembali, makin terkesan saya, ketika tersadar yang membaca puisi dalam rekaman video termasuk yang mengirimkannya adalah rekan saya Jamal, seorang muslim yang taat. Rekaman tersebut kemudian saya upload ke akun facebook dan Instagram saya.
Ah, indahnya ketika seni menembus sekat agama. Seni pada umumnya, khususnya seni puisi, adalah ekspresi diri yang tak bisa dipungkiri dapat dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman ideologis seniman. Namun dalam amatan saya, bagi seniman pada umumnya ideologi-ideologi termasuk kepercayaan agama bukan alasan untuk menjadi sekat pemisah dalam hidup kemanusiaan dan dalam menikmati karya seni.
Urusan keyakinan adalah urusan pribadi, sementara karya seni universal dan go public, dia bebas dinikmati siapa saja. Sama halnya dengan buku. Sekalipun buku tentang agama tertentu, namun pembacanya tidak dapat dibatasi oleh sekat agama.
Termasuk juga menulis sebagai seni, tak bisa dibatasi pembacanya oleh sekat agama. Hal ini nampak di kompasiana, ketika saya membaca tulisan tentang makna Ramadhan atau teman-taman saya kompasianer membaca beberapa tulisan saya dengan latar belakang kisah dalam ke-Kristenan. Kami tetap menikmati, bahkan memberi rating dan komentar. Indahnya hidup dalam perbedaan.
Bagi saya Indonesia yang agamais seperti inilah yang diidam-idamkan. Perbedaan agama tidak menjadi soal untuk hidup berdampingan dan saling berbagi, tentu saja dengan saling menghargai diantara pemeluk agama yang berbeda. Agama sesungguhnya adalah keyakinan pribadi dan hubungan pribadi antara penganut agama tertentu dengan Tuhan.
Ketika keyakinan dan ajaran mewujud dalam tindakan keseharian, maka keyakinan tersebut tidak menjadi sekat pemisah , namun menjadi kekuatan perekat, ketika ada saling menghargai, saling mengasihi, saling mengerti, toleransi dan komunikasi antara sesama pemeluk agama yang pluralistik itu.
Dan, nilai-nilai hidup dalam keberagaman itu, dapat kita petik dari dunia seni, seperti kisah saya hari ini, ketika karya seni, puisi, menembus batas sekat perbedaan agama dan melukis kisah visioner para pendiri bangsa tentang Indonesia yang dicita-citakan. Ah, indahnya ber-Indonesia.