Lihat ke Halaman Asli

Meidy Y. Tinangon

Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

Merayakan 50 Tahun Hari Bumi dengan Kesunyian

Diperbarui: 22 April 2020   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi penduduk bumi di tengah pandemi (sumber: shutterstock via kompas.com)

Rabu, 22 April 2020, merupakan tahun ke-50 peringatan Hari Bumi (Earth Day).  Tahun ini, kita memperingati hari bumi dengan situasi yang memprihatinkan dengan terjadinya pandemi global Corona Viruses Disease - 2019 (Covid-19).  

Sebagai upaya pencegahan transmisi  antar manusia dari varian baru virus Corona tersebut maka strategi Social dan Physical Distancing dengan tagar #StayAtHome atau #DirumahAja menjadi pilihan. 

Alhasil, aktivitas di luar rumah dibatasi, pertemuan online/virtual menjadi pilihan menggantikan pertemuan offline. Rumah menjadi ramai, sekeluarga kumpul bersama, tapi di luar rumah, sunyi !  Kantor sunyi, mall sepi, hotel banyak yang menghentikan aktivitasnya. Jalanan pun sunyi. 

Pandemi global Covid-19  hadir ketika bumi masih bergumul dengan perubahan iklim (Climate change) dan pemanasan global (Global warming). 

Fenomena yang paling dirasakan dalam konteks perubahan iklim adalah suhu bumi makin panas. Tema peringatan hari bumi tahun ini seperti dirilis earthday.org adalah Climate Action. Perubahan iklim dianggap masih menjadi tantangan besar planet bumi. 

foto 1 | edf.montgomery.nj.us

Memang, penyebaran Covid-19 di Indonesia bukan karena faktor perubahan iklim, sebagaimana rilis ilmiah BMKG 3 April 2020 (baca: Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Pandemi COVID-19). 

Dalam rilis yang berasal dari kajian ilmiah dan penelitian terbaru, BMKG menyimpulkan: 

"Analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelilitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi, tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua. Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial."

Foto 2 | forbes.com

Disebutkan pula bahwa kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19.  

Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia  diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia. 

Sekalipun demikian, perubahan iklim masih menjadi tantangan besar kita dan karenanya perlu mendapatkan atensi yang besar. 

Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM merilis informasi bahwa 80 Persen Bencana di Indonesia Akibat Perubahan Iklim (https://ugm.ac.id/id/berita/8496-80-persen-bencana-di-indonesia-akibat-perubahan-iklim). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline