Umat Kristiani pada hari Minggu, 12 April 2020 baru saja merayakan Paskah, hari besar keagamaan yang lazim disebut pesta kemenangan. Disebut 'pesta kemenangan', karena Paskah merupakan perayaan kebangkitan Tuhan Yesus setelah sebelumnya disalibkan dan mati. Yesus yang disalibkan dan mati itu bangkit dan menang melawan kuasa maut (kematian). Dalam tradisi modern di berbagai gereja, Paskah dirayakan layaknya sebuah pesta !
Di gereja saya, setiap perayaan Paskah selalu digelar aneka lomba yang meriah, taman Paskah disiapkan dengan begitu indah, sepanjang jalan bersolek dengan berbagai kreasi ornamen Paskah. Di hari Paskah, anak-anak yang terhimpun dalam Sekolah Minggu (Sunday School) biasanya usai beribadah menggelar aneka kegiatan dengan agenda utama menghias atau mencari telur Paskah.
Kaum muda menggelar Pawai Paskah, jalanan macet, jemaat tumpah ruah di jalan menyaksikan prosesi pawai. Pesta bagi etnik Minahasa, selalu tak lengkap tanpa makan, maka jadilah setiap usai ibadah Paskah, dilanjutkan dengan agenda makan bersama. Klop.... Begitulah rutinitas Pesta Paskah di gereja saya.
Pemandangan dan suasana berbeda tersaji di Pesta Paskah tahun ini. Jauh dari kesan pesta. Jauh dari luapan kegembiraan layaknya euforia sebuah komuni di tengah kemenangan. Yang nampak adalah sebuah situasi yang terbalik, 360 derajat dari sebuah selebrasi rutin dan "normal" untuk sebuah pesta. Tak banyak ornamen Paskah, kegiatan yang sepi, jalanan sepi dan bahkan gedung gereja pun sepi !
Pesta Paskah 2020 merupakan pesta tersunyi sepanjang sejarah, pun juga merupakan sebuah aksi relijiusitas yang revolusioner. Namun, bukan tanpa makna. Pesta Paskah 2020 justru sarat makna !
* Sarat Makna
Paskah, pesta kemenangan punya sejuta makna. Yang diharapkan dari setiap perayaan adalah penghayatan terhadap makna yang akan mengantar kepada sebuah aksi implementatif dalam konteks dan locus. Bagi saya salah satu pemaknaan penting dari perayaan Paskah adalah memaknai kemenangan Yesus, yang ternyata kemenanganNya terhadap alam maut adalah adalah karena Dia mengalah melakukan aksi revolusioner untuk ukuran seorang yang punya kuasa, yaitu: mengalah untuk menang.
Kesaksian kitab Injil membuktikan tidak ada perlawanan berarti dari Yesus sejak dia dihadapkan kepada Mahkamah Agama. Tidak ada perlawanan berarti ketika dia diolok-olok dan difitnah. Pun ketika dipaksa memikul salib hingga dipaku di kayu salib di Bukit Golgota.
Yesus, Anak Allah itu, yang kepadanya diberi kuasa dari Allah Bapa dengan bukti berbagai mujizat selama 33 tahun pelayanannya, kemudian di masa-masa sengsaranya sama sekali tak berdaya. Seharusnya, dengan kuasa yang ada dan belum dicabut tersebut, Dia mampu melawan dan langsung menang terhadap orang-orang berkuasa lainnya yang mau membunuhNya.
Disinilah titik pentingnya dari strategi kalah-menang. Orang yang mengalah bukan orang yang sama sekali lemah dan tak punya power, otoritas atau kekuasaan. Justru orang yang mengalah adalah orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menang tapi tidak menggunakan kekuasaan dan kemampuannya tersebut. Yesus punya kuasa untuk menang, namun tidak menggunakan kuasa yang ada padaNya.
Sampai pada titik ini. Kita mengkin berpikir bahwa hal mengalahnya Yesus merupakan sebuah skenario dari Allah. Merupakan perkenanan Allah Bapa. Merupakan penggenapan nubuat, sebagaimana nubuatan kitab-kitab Perjanjian Lama seperti Kitab Mazmur, Yesaya, Zakaria dan Mikha. Benar demikian, dan justru disinilah sifat pertama dari karakter "mengalah" Yesus, yaitu mengalah dalam pengertian tunduk pada skenario atau perintah BapaNya.