Lihat ke Halaman Asli

Perilaku Mencontek, Ketidakbenaran yang "Dimaklumi"

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan tugas mata kuliah untuk membuat suatu rancangan intervensi. Setelah menimbang-nimbang mengenai permasalahan yang akan saya bahas akhirnya saya memutuskan untuk mengambil tema mengenai perilaku mencontek pada mahasiswa aktivis UKM kerohanian.

Ketika kita berpikir mengenai kata mencontek seolah-olah sudah merupakan makanan sehari-hari pembelajar, saya pun juga pernah tidak terluput dari perilaku ini. Berbagai kalangan dengan tingkat kecerdasaran inteligensi dan kecerdasan spiritulitas yang beragam hampir sebagian besar pernah melakukannya.

Awalnya saya berpikir bahwa saya akan menemukan banyak referensi dari berbagai jurnal yang dapat diakses secara gratis di internet karena hal ini merupakan isu yang marak di bidang pendidikan. Tetapi setelah beberapa waktu mencari, saya tidak menemukan jurnal yang membahas mengenai intervensi untuk perilaku mencontek pada mahasiswa. Saat saya mencoba bertanya kepada salah seorang teman saya mengenai kesulitan saya mencari referensi tersebut, teman saya menjawab “ya lebih tepatnya tidak ada yang peduli.” Pada waktu itu, saya sempat merasa salah mengambil tema. Kemudian setelah dipikir-pikir kembali saya tidak merasa menyesal mengambil tema ini. Mungkin saking terlampau seringnya fenomena ini terjadi, hal ini dianggap sebagai suatu “kewajaran” yang tidak memerlukan intervensi. Dengan kata lain hal ini dianggap sebagai ketidakbenaran yang “dimaklumi”.

Padahal jika kita lihat dampaknya dari perilaku mencontek yang dianggap “wajar” dilakukan oleh pembelajar ini, tentunya dapat merambah ke berbagai bidang salah satunya adalah perilaku korupsi. Kebiasaan sejak dini untuk menerima reinforcement positif berupa hasil yang maksimal dengan usaha seminimal mungkin bertendensi untuk diulangi terus-menerus seperti pada konsep behaviorisme yang menyatakan bahwaperilaku yang menimbulkan konsekuensi yang menyenangkan, lain kali cenderung akan diulangi. Korupsi hanyalah salah satu contoh dampak berkepanjangan, tentunya masih banyak dampak lain yang dapat menimbulkan kerugian bagi bangsa secara khusus.

Mungkin terdengar sebagai sesuatu yang klasik ketika kita menyuarakan ajakan untuk tidak melakukan perilaku mencontek. Semua orang tahu bahwa mencontek merupakan hal yang tidak benar, kemudian karena adanya kesenjangan antara das sein dan das sollen akhirnya perilaku tersebut sulit dihindari. Tetapi bagi saya langkah kecil untuk menghentikan perilaku mencontek ini memang perlu disuarakan. Mahasiswa maupun para pembelajar lain harus berhenti berpikir pragmatis untuk mulai mencicil perubahan bagi bangsa ini, dimulai dari tindakan-tindakan sepele yang kurang dipertimbangkan sisi urgensinya.

Saya sering sekali mendengar istilah pragmatis yang digunakan untuk menggambarkan kondisi generasi muda masa kini. Memang selama masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa awal pada umumnya mahasiswa akan mengalami penurunan idealisme ketika menghadapi kendala realitas. Mahasiswa pada umunya berpikir menjadi lebih realistik sekalipun terkadang upaya-upaya yang dilakukan dalam menghadapi kendala tersebut terkadang melanggar nilai dan norma. Tetapi budaya seperti ini bukanlah hal yang perlu dilanjutkan, jadi saya berharap warga negara Indonesia mulai menyadari untuk memulai sebuah perubahan hanya diperlukan langkah kecil dengan membuat perbedaan dari apa yang umumnya telah menjadi kebiasaan.

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline