Lihat ke Halaman Asli

Lilin

Perempuan

Kotak-Kotak yang Menghabisi

Diperbarui: 24 September 2022   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

KOTAK-KOTAK YANG MENGHABISI

Seorang lelaki muda berjalan gontai memasuki sebuah ruangan berAc dengan cat dinding berwarna biru muda cerah sangat kontras sekali dengan wajah pemuda itu. Ia memegang sebuah amplop coklat selebar dua puluh sentimeter, sudah dapat dipastikan surat lamaran lah yang sedang dipegangnya. Ia melepas kaca mata hitam dan menyimpannya di saku kemeja hitam yang menutupi hampir seluruh badannya. Tubuh lelaki itu sengaja ditutup dengan kemeja lengan panjang dengan sedikit melebihi pergelangan tangan, guna untuk menyembunyikan tatu-tatu yang telah ada semenjak beberapa tahun dirinya dilahirkan. Caranya berjalan masih dipenuhi kecemasan, seakan-akan siapapun di dalam ruangan itu bisa begitu saja menghabisinya.

Di dalam ruangan itu ada sebuah meja dan kursi dengan perempuan muda duduk dibaliknya. Di pandanginya perempuan muda dihadapannya sedikit ragu-ragu antara ingin bertanya atau kembali saja melewati pintu bertuliskan keluar yang ada disebelah kanannya berdiri, lantas terbebas.

"Selamat pagi, saya Natsir yang mendapat panggilan interview kemarin siang."
Perasaan lega tergambar di wajah pemuda itu. Satu kalimat pada akhirnya keluar dari saluran kerongkongannya.

"Selamat pagi, silahkan bapak masuk ke ruangan di sebelah kiri saya," jawab perempuan berkemeja merah seraya berdiri dan menunjuk ke ruangan bertuliskan HRD.

"Terima kasih."

Handel pintu di bukanya perlahan. Tampak di balik meja seorang bapak-bapak berumur empat puluh limaan, dengan potongan rambut rapi berkharisma. Di ujung tengah meja bertuliskan nama Simon Yong. Nama yang sesuai dengan orangnya. Tampak kepintarannya tidak dapat disembunyikan. serta gerak-gerik perangainya begitu meyakinkan.

Pemuda itu sendiri sesungguhnya tidak benar-benar seorang pengangguran yang begitu membutuhkan pekerjaan. Ia sendiri adalah seorang penulis dan penjual buku. Meskipun tak bisa dikatakan sebagai profesi namun, dengan menulis dan menjual buku sudah bisa menghidupinya semenjak beberapa tahun lalu, bahkan sebelum ia menikah dan memiliki seorang putri cantik bernama Lunar. Sekali lagi penglihatan masyarakat yang menggiringnya memasuki ruangan berAc, bertuliskan HRD sebuah perusahaan periklanan di kota ini.

Di kota yang asing, pemuda itu benar-benar sendiri. Jauh dari siapa saja yang membuatnya ada dan berada. Sejak awal tatkala ia mendatangi kota asing ini. Tidak hanya orang-orang dengan wajah baru yang menatapnya berbeda, namun, pemikiran dan rasisme yang mendarah daging di masyarakat terasa menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Ini kenapa? Bagaimana bisa memiliki gambar sedemikian rupa? Apakah tidak sakit? Dan yang paling mengejutkan adalah satu pertanyaan yang datang dari ibu mertua sendiri. Bagaimana bisa mencari kerja kalau begini?

Ternyata rasisme itu benar-benar mendarah daging di dalam kehidupan bangsa ini. Seperti saat ini, di depan seorang lelaki dengan perangai terpelajar dan pintar. Pemuda itu membuka satu persatu kancing kemeja lengan panjangnya. Menelanjagi diri demi mendapatkan sebuah pekerjaan. Al hasil, tetap saja tidak ada satu cela untuk menunjukan kemampuan lebih intelektualnya dari sekedar memperlihatkan lukisan Mandau di bawah dada bidangnya serta simbol-simbol kejayaannya sebagai pribadi putra daerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline