Lihat ke Halaman Asli

Lilin

Perempuan

Rindu Separuh

Diperbarui: 6 Juni 2022   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi


Sampai saat ini aku hanya punya mimpi-mimpi. Semua itu hanya sebuah peralihan dari kehidupan nyata yang tidak beres. Gejala-gejala ketidakbaikan itu sampai saat ini masih membangkitkan kecemasan hingga mengharuskan untukku mengikhlaskan yang namanya perpisahan.

Dua minggu setelah kepulangan Zainul, adik satu-satunya suamiku. Rupanya harapan bahwa hidup ini akan kembali baik-baik saja tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Ia telah kembali pergi dan berangkat ke tengah samudera tanpa sekalipun melihat lambaian tangan dariku, kakaknya, serta keponakan-keponakannya. Hampir bersamaan dengan itu, datang pula mimpi-mimpi. Ia tak selamannya baik.

"Tak selamannya yang tampak baik-baik saja itu tidak menghasilkan luka, Ka!" Aku berdiri di samping lelaki penyayang yang saat ini masih menyimpan rindu pada tawa adik kecilnya itu.

"Rupanya sampai saat ini aku masih harus belajar menjadi asing untuknya," katanya lirih.

Aku lihat bulan mengambang di langit-langit matanya. Laki-laki penyayang itu kembali melihat mimpi buruk yang berbulan-bulan lalu selalu mengoloknya datang kembali. Akhirnya mimpi itu menang lagi, cukup menyedihkan bagiku melihat lelaki yang memiliki banyak doa-doa baik harus sekali lagi diperolok oleh mimpi buruk.

'Semoga lautan menengelamkannya. Aku hanya ingin melihat apakah darah yang sama(merah) mampu menolongnya agar tak menyatu dengan asin air lautan. Lautan kesedihan dari mata kami yang berulang kali di tusuk perpisahan sepihak'.

***
Memori di kepalaku seperti sebuah slide film hadir berlompatan ke tahun-tahun silam.

Barangkali hanya seorang perempuan yang memiliki memori sangat kuat melekat pada otak di kepalanya. Barangkali lantara Kaka bukan penyuka kemandirian, sehingga sampai saat ini pergi menjauh masih menjadi satu-satunya luka yang dihindarinya.

Tak ada yang betah tinggal di dalam rumah, dan makin terasa sesak karena setiap gerak dan laku mulia diukur dengan materi, kehormatan, dan jabatan. Adakalanya pengabdian seorang anak tak lebih seperti sebuah debu di ujung mata, serta merta dihalau dengan air meskipun perih menjadi efek satu-satunya yang tertinggal.

Namun tak pernah kami risau, karena kami punya keyakinan bahwasanya surga berada di telapak kaki ibu, serta dielusan tangan bapak. Tak ada suatu apapun yang dapat menandingi keyakinan kami itu. Sebabnya sampai saat karena masalah sepele sebuah kayu palang pintu di rumah ini tidak kututup dengan benar. Lelaki tua itu menghardik kami kasar. Seperti pada rumah orang jawa di jaman dulu, di rumah ini setiap pintu disediakan dua kunci sebagai penutup. Kunci besi seperti kebanyakan rumah modern saat ini, dan juga kunci berupa kayu selebar sepuluh senti dengan panjang semeter diletakan melintang di sisi dalam pintu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline