Lihatlah. Layung telah tergambar jelas di ujung sana. Mambang kuning yang memancarkan keelokan rupa lukisan maestro terhebat sedunia. Sepi, tak sepotong manusia pun di sini. Hanya aku dan bukit hijau di sisi barat kota kecil Yogyakarta. Di sini belahan bumi tempat aku berpijak beberapa tahun lamanya. Semenjak aku melihat pelaminan megah itu dan malamnya aku dibuang di sini.
Aku masih menikmati kepingan senjaku seorang diri. Bersama tapal asa dan cinta yang kian terpatri dalam hati. Perjalanan selama hampir tujuh tahun itu kian menjejaki pikiranku. Kadang aku bosan dibuatnya. Lelah juga. Namun justru dengan kebosanan dan kelelahan itu terciptalah cinta yang kian menghujam hatiku, memendarkannya ke aliran darahku.
Beberapa jenak aku tak tahu harus berbuat apa-apa ketika kudengar langkah kaki yang menghampiriku. Langkah yang kukenal betul. Langkah yang kunantikan tiap kali aku merindu. Dalam hati aku menjerit mengawang langit sambil berkomat-kamit berdoa untuk mengirimkan rasa nyaman di hatiku.
Tap...tap...tap
Ia seperti hendak menerkamku dari belakang. Aku membayangkan ia membawakanku sekuntum bunga mawar putih. Sama seperti tujuh tahun yang lalu ketika terakhir aku bertemu dengannya. Saat kita baru saja tiba di Jogja dan ia harus kembali lagi ke Solo. Ia mengenakan kemeja garis berwarna hitam, celana jeans dan sepatu cokelat yang elegan. Khas pemuda elit. Rambutnya yang hitam tertata rapi. Pokoknya dia yang terganteng!
Tap...tap...tap
Derap itu kian nyata di telingaku. Aku tak ingin menoleh sekarang! Aku ingin ia mendekapku dan menyalurkan sejuta kerinduan. Tujuh tahun bukan waktu sebentar dalam mempertahankan hubungan kami. Jatuh bangun, pasti. Cinta dan kepercayaanlah yang menguatkan kami. Aku yakin itu.
Ken adalah lelakiku. Dia asli Jakarta. Kami merajut tali kasih sejak kami sama-sama berkuliah di Solo, kota kelahiranku. Saking cintanya padaku, ia lalu pindah kependudukan menjadi warga Solo. Aku bahagia sekali. Itu artinya ia benar-benar serius kepadaku. Ah, pacarku.
Aku dan Ken saling mencintai. Tak ada hari tanpa kita lewati bersama. Berangkat kuliah, pulang kuliah, makan siang, mengerjakan tugas, berlibur, semuanya kami selalu bersama-sama. Orangtuaku sudah merestui hubungan kami. Dan Ken merencanakan akan melanggengkan hubungan ini setelah lulus dan mendapat pekerjaan. Itu janji Ken yang lantang ia ikrarkan di depan Ibuku, orangtua satu-satuku. Dan aku percaya itu!
Tahun berganti tahun. Hubunganku dengan Ken semakin erat. Kami sudah lulus kuliah. Semenjak kelulusan itulah kami sering berpisah. Dia memilih menjadi seorang trainer nasional yang sering keluar kota. Dan aku menjadi seorang guru Kimia honorer di Solo. Bertemu dengannya hanya seminggu sekali, pas weekend. Lalu sebulan sekali, tiga bulan sekali dan akhirnya kami hanya bertemu setahun sekali. Sampai akhirnya tujuh tahun yang lalulah terakhir kami bertemu.