Sudah lama ingin mengeluhkan masalah yang membuat mata ini risih lewat tulisan, tapi baru kali ini aku melakukannya, sepulang dari perjalanan kemarin. Pada 10 sampai 13 Desember 2015, aku mendapat undangan pertemuan lembaga-lembaga peduli hutan di Batam. Kamis jelang sore, 10 Desember-nya, aku sudah berada di Bandara Internasional Kuala Namu (KNIA). Kebetulan, pulang - pergi aku menumpang pesawat milik Citilink.
Menunggu di Gate 9 KNIA, aku menghabiskan beberapa menit sebelum memasuki pesawat dengan mengemil dan membaca email masuk. Tak lama, terdengar petugas bandara mengumumkan penumpang dengan nomor duduk 15 keatas, silahkan masuk duluan. Aku berfikir bagus juga ini pesawat!
Tapi rupanya, tak semua penumpang paham dengan pengumuman yang diucapkan beberapa kali ini. Di depan ku berdiri penumpang dengan nomor duduk lima. Dengan cuek, laki-laki yang sepertinya pejabat negara ini diam berdiri di dalam antrian. Sampai di pintu pemeriksaan, petugas mengatakan agar duduk dulu menunggu karena nomor 15 keatas yang di dulukan, barulah dia menyingkir.
Tapi sewaktu mau kembali ke Medan, petugas di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, tidak melakukan ini. Semua menyemut di pintu masuk yang sempit. Berdesakan, dorong-dorong pelan, seperti takut akan ketinggalan pesawat. Begitu di dalam pesawat, penumpang yang duduk di bangku belakang ku ribut.
Dia protes karena bagasi yang berada di atas kepalanya sudah penuh sementara barang bawaannya belum masuk. Dia marah-marah, tapi sepertinya itu barang tidak ada pemiliknya. Karena tidak ada yang merasa bertanggungjawab untuk menyingkirkan barang bawaan dari tempat yang bukan haknya.
Cuma pramugari yang terlihat sibuk mencari solusi dengan memeriksa bagasi lain yang masih kosong atau geser sana - gesir sini barang-barang siapa tau ada sisa tempat. Si ibu yang marah-marah terlihat seperti orang sakit jiwa yang mengamuk tapi tidak ada yang peduli.
"Sebenarnya satu orang berapa banyak sih bagasinya?" tanya pramugari kepada petugas bagasi.
"Satu," jawab petugas bagasi singkat.
"Jadi kalau ada yang bawa tiga barang, gimana?" tanya pramugari itu lagi dengan kening mengernyit. Petugas bagasi menjawabnya dengan mengangkat bahu.
Begitulah, aku pernah duduk di bangku 18 tapi bagasi ku di atas banggu 32, kacaukan?! Tapi inilah kita. Terlalu senang dengan melanggar aturan dan tak mau tau dengan hak-hak orang lain. Awak kabin pun tak tegas menindak.
Terus, begitu pesawat landing dalam hitungan detik, bunyi safety belt di buka terdengar disana-sini. Plus bunyi handpone di aktifkan. Padahal pramugari berulang kali bilang agar tetap duduk dan membuka safety belt sampai lampu dinyalakan, juga tidak mengaktifkan handpone selama masih berada di dalam pesawat. Tapi penumpangnya bandel tak ketulungan.
Begitu pesawat berhenti, serentak kebanyakan penumpang langsung berdiri dan mengambil bagasi, seperti bisa langsung keluar dalam hitungan detik. Padahal mereka masih harus berdiri lama sampai pintu pesawat di buka. Kebanyakan kita memang penumpang pesawat yang buruk!