Lihat ke Halaman Asli

Mei Juita

Wata Tnebar

Tugas Besar 1 Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak: Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)

Diperbarui: 8 April 2022   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sub-CPMK 6. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) (CPMK 4) 

Sejak puluhan tahun yang lalu ketika beberapa negara menganut sistem perekonomian tertutup seperti yang pernah dialami oleh China, India, Korea, Jepang, dan beberapa negara lainnya, mereka menutup diri dari aktivitas transaksi ekspor impor barang dan jasa serta modal dengan negara lain. Dalam situasi seperti ini, orang atau badan dari negara tersebut tidak perlu memikirkan dampak pengenaan pajak berganda internasional yang berasal dari transaksi lintas batas. Sebaliknya negara-negara yang menerapkan sistem perekonomian terbuka, sehingga membuka diri terhadap kegiatan transaksi ekspor impor dengan negara lain, dengan demikian maka orang atau badan dari negara tersebut perlu mempermasalahkan terjadinya pengenaan pajak berganda internasional karena terjadinya konflik kepentingan (conflic of interest) di antara dua atau lebih negara yang berdaulat terhadap penerimaan pajak yang muncul karena penghasilan yang diperoleh wajib pajak di dua negara yang berbeda, baik di negara sumber maupun negara domisili yaitu transaksi internasional, modal, orang, jasa, dan barang.

Begitupun juga, aktualisasi transaksi perdagangan dan investasi lintas batas negara (cross-border transactions) yang dilakukan oleh para pelaku transaksi tersebut secara ekonomis dimotivasi dengan tujuan yaitu untuk saling mendapatkan manfaat dan keuntungan (mutual benefit), dan elemen beban pajak akan menjadi salah satu faktor penentu yang harus diperhitungkan.

Globalisasi ekonomi dan merebaknya jaringan perusahaan multinasional dengan adanya peningkatan investasi asing langsung mengubah celah hubungan hukum dan ekonomi antarnegara. Seperti contoh globalisasi modal yang terjadi adalah partisipasi langsung atau tidak langsung dari sebuah perusahaan multinasional yang mana berupa penyerahan saham pada badan usaha di Indonesia.

Badan usaha dapat didirikan dengan modal/dana asing, kepemilikan saham pada suatu entitas/badan di luar negeri, pendirian perwakilan cabang usaha di luar negeri, dan pinjaman oleh kreditur asing bagi debitur dengan domisili di negara yang berbeda. Selain itu, proses globalisasi juga dapat meliputi barang tidak berwujud, seperti pemanfaatan Teknologi dan Ilmu Pengetahuan yang mencakup berbagai usaha di beberapa negara. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya aktvitas industri manufakrur Indonesia yang menggunakan hak paten dan teknologi dari negara lain.

Adanya kompromi hukum dalam negeri dan internasional dapat menimbulkan beberapa masalah dalam perpajakan internasional. Kebijakan ekonomi, politik dan industri yang dilakukan oleh negara lain dalam menghadapi interaksi ekonomi antar negara antara lain, untuk membuka peluang kesempatan kerja, meningkatkan daya saing antar pelaku usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional serta pencapaian keseimbangan neraca pembayaran (balance of payments) dari setiap negara.

Hubungan antarnegara yang semakin erat dan aktivitas yang memberikan penghasilan dapat dipastikan tidak akan membiarkan praktik pengenaan pajak berganda (double taxation) berlangsung karena akan merugikan wajib pajak dan negara yang bersangkutan. Dalam perspektif perekonomian, pembiaran semacam itu akan merugikan negara yang bersangkutan karena para investor asing yang keputusan investasinya hanya didasarkan pada profit motive maka akan meninggalkan negara tersebut ke negara lain yang dapat memberikan return on investment yang lebih tinggi.

Dalam perlakuan perpajakan baik itu badan atau orang asing tertentu di Indonesia, yang harus dilakukan pertama yaitu merujuk kepada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara sumber atau penduduk asing tertentu tersebut, sepanjang ketentuannya jelas ada di P3B-nya maka peraturan perpajakan (undang-undang di negara domisili) yang berlaku di negara Indonesia terhadap badan atau orang asing tersebut menjadi tidak berlaku.

Apabila negara Indonesia membuat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty), maka itu bukanlah semata-mata keinginan sepihak dari negara kita, namun juga karena ada asas timbal balik dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut untuk saling mendapatkan manfaat dan keuntungan (mutual benefit).

Jika negara kita tidak patuh terhadap hukum internasional, maka akan dikenakan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut. Hal itu menyebabkan Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional yang berdampak terhadap perekonomian negara Indonesia secara keseluruhan sehingga mau tidak mau Indonesia harus rurut serta menjalankan konvensi tersebut.

Tax Avoidance Agreement (DTA) atau perjanjian pajak adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas penghasilan yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline