Dewasa ini, aktivitas-aktivitas politik sudah merambah masuk lebih dalam ke lingkungan sosial hingga pendidikan. Bagaimana tidak, jika kita menelisik lebih jauh lagi pada hakikat politik maka kita akan memaklumi peristiwa ini. Sejatinya, politik adalah sesuatu yang sangat baik. Politik tak hanya soal machtvoorming dan machtsaanvending melainkan juga cara atau jalan yang ditempuh untuk menerapkan suatu aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat (Teori Klasik Aristoteles). Diskursus mengenai hakikat politik kian masif terjadi di kalangan masyarakat tak terkecuali mahasiswa. Plato mengatakan bahwa manusia adalah makhluk politik (Zoon politicon), yang dimana dalam tiap kerja-kerja yang dilakukan manusia, pasti selalu menerapkan konsep-konsep politik di dalamnya. Plato memberikan contoh sederhana. Ketika kita masih kecil, kita biasa menangis merengek untuk bisa mendapatkan susu dan biskuit dari ibu kita, dan dengan cara itulah kita akhirnya mendapatkan apa yang kita inginkan atau perlukan. Contoh sederhana dari Plato tersebut merupakan ilustrasi bagaimana politik bekerja.
Dalam konteks bernegara, politik tak hanya digunakan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Tapi politik juga digunakan dalam pemberdayaan masyarakat, kerjasama ekonomi, penegakan hukum, pembuatan hukum, dan berbagai aktivitas kenegaraan lainnya. Dalam konteks hukum, politik ada di setiap aspek pembuatan dan penegakan hukum. Hal itu tak dapat kita pungkiri lagi. Dalam hukum dikenal politik hukum yang merupakan kebijakan yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang mencakup pembuatan, penerapan, dan penegakannya. Sehingga aspek politik berada pada tiap aspek hukum. Itu sebabnya hukum kerap kalah dari politik, karena selain tiap aspek hukum yang dibuat dan dijalankan menggunakan politisasi, hukum juga merupakan produk dari politik.
Mungkin kita sudah terbiasa dengan aktivitas-aktivitas politik di lingkungan masyarakat. Namun, kali ini marilah kita melihat kepada lingkungan akademik, yaitu kampus dan mahasiswa. Sebenarnya, kerja-kerja politis tak hanya terjadi di lingkungan kampus, tapi juga dimulai dari jenjang pendidikan yang lebih rendah seperti SD, SMP, SMA, dst. Namun, aktivitas politik kampus lebih menarik untuk dibahas karena kerja-kerja politis yang dilakukan lebih kompleks bahkan hampir sama dengan kerja-kerja politis ketatanegaraan "sungguhan". Kampus, yang notabenenya adalah lingkungan yang menganut kebebasan akademik dan intelektual disinyalir mampu menjalankan politik yang lebih intelek daripada politik negara "sungguhan". Itu terjadi karena mahasiswa dinilai masih independen, netral, sehingga tak mampu diintervensi oleh pihak-pihak yang menganut politik praktis yang "kotor". Kerja-kerja politis yang dilakukan mahasiswa masih mengedepankan intelektual daripada "kharisma" semata. Inilah yang kemudian menjadikan politik kampus menjadi politik yang hakiki.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 69/PUU-XXII/2024 memperbolehkan kampanye politik Pilkada dilakukan di lingkungan perguruan tinggi sepanjang mendapat izin dari pihak perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye. MK melalui putusan ini ingin kontestasi politik yang dilakukan oleh politisi-politisi mengedepankan intelektual dan gagasan daripada hanya sekedar praktik-praktik politik kosong semata. Ini juga yang menjadikan kampus sebagai sarana politik yang baik, yang bebas dari praktik-praktik politik kosong yang tak mengedepankan gagasan dan ide. Namun, apakah kampus dan mahasiswa akan selamanya begitu?
Tampaknya jika kita melihat kondisi perpolitikan kampus dan mahasiswa saat ini, perpolitikan itu tak lagi bersih dan merdeka. Saat ini, banyak civitas politica kampus yang tak menjalankan kerja-kerja politis dengan independen. Mahasiswa yang seharusnya menjadi kritikus utama kampusnya, kini terbungkam akibat kerja-kerja politis yang dilakukan. Petinggi-petinggi kampus yang seolah diam tak mendukung menjadikan apatisme politis terjadi secara masif di lingkungan kampus saat ini. Padahal, dengan politik lah mahasiswa bisa mempertahankan dan menuntut haknya sebagai mahasiswa. Dengan politik lah mahasiswa bisa memperoleh kebebasan akademik. Dan dengan politik lah mahasiswa dapat memberantas tuntas penyelewengan kewenangan oleh para stakeholder kampus. Kesadaran seperti inilah yang kemudian runtuh seiring berjalannya waktu dan dinamika kurikulum perguruan tinggi.
Hal-hal seperti ini merupakan tugas kita sebagai mahasiswa yang benar-benar mahasiswa. Tak ada gunanya ketika kita diam disaat hak-hak kita juga kebebasan akademik kita direnggut, diinjak, dan dibungkam begitu saja. Politik kampus sejatinya adalah politik paling hakiki yang pernah ada. Jika politik paling hakiki itu hilang dari peradaban perpolitikam, maka tak ada lagi yang bisa terjadi selain kehancuran dan kesengsaraan. Bukankah kita hidup untuk bebas dari penindasan? Bukankah pendidikan yang kita tempuh saat ini hanya formalitas belaka? Bukankah penindasan akademis jauh lebih buruk dan menyedihkan daripada penindasan fisik? Pertanyaan-pertanyaan renungan itu adalah langkah awal kita untuk melawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H