Aku mengerjapkan mata, ketika menyadari ada yang menggoyang tubuhku semula berlahan, tetapi makin lama semakin keras. Karena malam tadi mata tak mau terpejam, barulah mendekati dini hari terlelap tanpa sadar, kelopak mata masih berat, sendu, kantuk masih menghinggapi . Hal pertama kulihat adalah bola lampu kecil dengan cahayanya redup di langit-langit.
Ruangan sempit serta pengap dengan cat berwarna gelap yang mulai mengelupas. Di sudut ruangan banyak sawang. Mengumpulkan kesadaranku, barulah kembali aku tersentak ketika menyadari di mana aku berada. Seorang pria berkopiah duduk di sampingku sembari melemparkan senyuman. Dialah yang membangunkanku tadi. Malam ini perdana aku berada di sini. Bagaikan mimpi buruk saat menyadari kenyataan.
"Bangunlah, hari sudah tinggi,makan lagi," ujar pria paruh baya tersebut.
"Sudah hal biasa di sini sarapan dan makan siang itu tiada bedanya. Karena makanan diberikan mendekati matahari naik, kita harus menerimanya, suka atau tidak dengan menunya. Harus di makan," sambungnya lagi, karena melihat dahiku mengeryit dan berusaha untuk tersenyum getir. Hari ini piring yang terbuat dari plastik itu berisi tempe goreng sepotong, tumis kangkung dengan kuahnya berwarna gelap, sedikit sambal yang banyak minyaknya. Bukannya pedas yang terasa hanya membuat nasi mengkilat berwarna merah. Akhirnya makanan itu kandas beralih ke perutku. Akibat kelaparan yang kurasakan karena memang dari semalam perut belum terisi.
Sesaat aku termangu, kembali bayangan kejadian semalam terbayang. Bagaimana aku tertarik ikut kerja dengan Bang Paijo.
"Gue ada kerjaan bagus, kerjanya cuma jadi kurir tapi digaji mahal, elo susah payah jadi buruh siang malam tapi kagak juga bisa ngumpulin duit banyak. Ingat anak binik lo di kampung, mereka pasti bahagia kalo elo ngirim uang lebih banyak," bujuk Bang Paijo kala itu.
Disaat Bang Paijo menawarkan hal tersebut, bertepatan pula baru saja Minah---istriku menelpon minta dikirimkan uang untuk kebutuhan hidup. Sebenarnya ada rasa ketakutan yang amat besar mengelayut. Keadaan seakan memaksa mendesak, akhirnya aku memutuskan terjerumus, ikut menjadi pengantar barang haram itu. Naas nasibku perdana bekerja, aku anak baru bergabung, masih kaku dan belum terbiasa. Tiba-tiba sekawanan polisi menyergap disaat barang masih ditanganku.
Baru aku sadar aku hanya tumbal untuk memutuskan sistem putus ekor jaringan mereka. Aku sendiri tak tahu menahu siapa dan bagaimana mereka. Karena perantaraku hanya ponsel, mengambil barang di semak lalu mengikuti intruksi mengantar ke alamat yang diberi. Menyesal itu pasti, tapi aku sadar tiada gunanya. Kesalahan itu terjadi karena aku terlalu lemah tergiur dengan uang yang dijanjikan. Akhirnya tertangkap setelah perangkap itu menjeratku.
Bagaimana nasib Minah serta kedua anakku yang masih kecil. Mereka pasti menunggu kiriman serta kabar dariku. Sekilas wajah sendu mereka seakan menari-nari di benakku. Bagaimana reaksi mereka, keluarga, kerabat serta warga kampung jika mengetahui aku berada di tahanan terjerat sebagai pengedar narkoba.
Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, inginku tetap berada di sisi mereka saja. Hidup sederhana dengan suasana desa yang tenang . Namun, aku mencoba peruntungan berharap mengubah nasib.