Membakar Asa
Oleh : Megawati Sorek
Aku turun dari mobil setelah melakukan perjalanan dari Pekanbaru menuju Bagansiapisiapi. Perjalanan hampir memakan waktu hampir empat jam lebih. Aku ke bagasi mobil, mengambil serta menyeret koper menuju lobi hotel. Menemui seseorang adalah tujuanku. Jika tidak urusan mendesak tak ingin untuk ke kota ini lagi. Terlalu banyak kenangan terukir pada kota yang dulunya penghasil ikan terbesar ini.
Aku merebahkan tubuh dan menatap langit-langit kamar hotel sembari menghela napas. Setelah sekian menit aku berdiri ke arah jendela dan melihat muara Sungai Rokan Hilir dari ketinggian dan kejauhan. Kota ini banyak berubah setelah delapan tahun terakhir kutinggalkan. Lokasinya yang juga berdekatan dengan Selat Malaka membuatnya cepat berkembang.
Ingatanku kembali terlempar saat-saat memakai seragam putih abu-abu. Selama tiga tahun di kota ini karena dulu mengikuti Bapak yang pindah tugas. Saat itu masa pengenalan orientasi siswa berlangsung.
"Hei, kamu yang di ujung barisan, ke sini!" Kakak tingkat menunjuk padaku. Matanya yang sipit makin mengecil dan tubuhnya yang putih itu sedikit memerah karena diterpa cahaya matahari yang terik. Ternyata ia menyadari diriku yang terlambat masuk barisan.
"Mengapa terlambat?" tanyanya. Suaranya lantang berucap, semua siswa-siswi fokus memperhatikan kami yang berada di depan barisan. Ia tersenyum tipis terkesan mengejek.
Aku menunduk, aduh malunya diperhatikan puluhan pasang mata. Sialnya hari pertama sekolah justru aku sudah dikenal duluan jika begini caranya. Kulitku yang memang sejak lahir hitam berdiri di sampingnya terlihat sangat kontras. Memang dominan warga keturunan Tionghoalah yang bersekolah di SMA favorit kota ini.
"Tadi, itu, saya ke toilet dulu, saat bel berbunyi," terangku dengan memasang wajah memelas. Berharap ia iba dan memaklumi.
"Kamu di hukum mencuci wc wanita di ujung sana!"seru pria berlabel nama Alvin di dada kiri itu dan telunjuknya mengarah lokasi yang ia perintahkan.