Aku berbaring di atas single bed sembari menatap langit-langit kamar indekos. Kedua tanganku berada di bawah kepala agar meninggikan posisi bantalan. Pikiranku menerawang tentang Nisa dan Riki. Apa yang mereka lakukan sekarang? Pastinya mereka sedang berbahagia. Baru terhitung tiga puluh menit yang lalu Nisa berpamitan. Riki mengajaknya malam mingguan. Apel pertama mereka sejak baru jadian kemarin. Ada yang menyesak di dadaku. Terasa nyeri dan sakit. Riki adalah kakak tingkatku di kampus. Aku mengenalnya saat tanpa sengaja ia menabrak sepeda motorku hingga kaca spion pecah dan kerusakan ringan lainnya. Pria idola para mahasiswi itu pun bersedia bertanggung jawab. Beberapa kali bertemu di bengkel. Kami pun akhirnya menjadi akrab.
Sifat baik, cerdas dan paras yang dimiliki Riki mampu membuatku berdebar. Aku kagum dengan segala apa yang ada pada dirinya. Benih-benih cinta mulai bersemi. Ada perasaan yang terpendam. Aku hanya berani menyimpan rapat-rapat. Menikmati cinta sendiri dengan tersiksa. Suatu hari mungkinkah aku mampu? Mengumpulkan keberanian untuk mengutarakannya. Pria itu baik pada semua orang. Aku belum bisa menangkap sinyal balasan akan rasaku ini.
Aku mendengkus kasar dan memalingkan kepala ke arah kanan. Mataku memicing melihat ranjang milik Nisa. Teman satu indekos itu mematahkan harapan serta impianku. Bagaimana tidak? ketika Riki mengantarku pulang akibat ban sepeda motor pecah mereka bertemu. Mahasiswi jurusan ilmu komunikasi itu berada di teras rumah induk saat itu. Akhirnya, mereka berkenalan. Menyebalkan! Nisa yang berparas ayu itu mulai pasang aksi tebar pesona. Memang, jika dibanding denganku, Nisa tentunya menang banyak. Tubuhnya putih dengan postur yang semampai. Bermata bulat dengan bulu mata lentik. Aku dilanda gundah gulana ketika mereka semakin hari semakin dekat dan lengket.
Aku mendengar kabar yang membuatku syok. Saat itu Nisa dengan wajah semringah menghampiri.
"Del, tau nggak Riki tadi bilang apa saat kami di cafe?"
Aku terpaku. Nisa memancarkan wajah yang ceria. Aku bisa menebaknya. Kontan saja aku langsung menunduk berpura-pura melanjutkan menulis tugasku.
"Apa?" Suaraku sedikit bergetar. Aku menahan gejolak kekecewaan. Jangan sampai Nisa menyadari ekpresi wajahku.
"Dia nembak gue, kami resmi pacaran mulai saat ini."
Bersusah payah aku mencoba tersenyum dan terlihat ikut bersemangat. Menatap kedua manik teman sekamarku itu dengan berbinar.
"Wah, selamat ya. Beruntung lu, Sa, Riki lelaki yang baik!" seruku.