Aku merebahkan diri di atas dipan kayu yang biasa kupakai tidur, dengan pikiran berkecamuk. Mataku memandang lurus, langit-langit triplek kamar yang sudah lapuk bahkan mulai berlubang. Lampu berukuran kecil menggantung di sana. Besok batas akhir, waktu yang diberikan Pak Ustad bagiku untuk memberikan keputusan apa yang akan kuambil.
"Ini kesempatan langka, tidak semua orang bisa mendapatkannya," ucapan Pak Ustad kembali tergiang kembali.
Setelah sekian lama menjadi marbut di Masjid di Desa kami. Pekerjaan itu aku lakoni sembari belajar menambah ilmu agamaku yang masih dangkal. Memiliki masa lalu kelam ketika remaja merantau ke kota. Beruntung, akhirnya aku mendapatkan hidayah untuk bertobat, setelah hampir tiga tahunan berada dalam jeruji besi karena kasus pencurian. Kini usia telah menginjak ke dua puluh enam, semakin dewasa. Belum ada mendapatkan pasangan. Hidup hanya berdua dengan makku yang telah janda beberapa tahun silam. Karena bapak tiriku tewas tertabrak mobil ketika pulang dari kebun.
Sedangkan Bapak kandungku entah di mana rimbanya. Semenjak kecil kami ditinggalkan olehnya. Mak dan aku luntang lantung untuk bertahan hidup. Hingga usiaku belasan tahun saat itu, Mak menikah lagi. Aku dan bapak tiriku tidak cocok.
"Nak, lagi ngapa? Boleh Mak masuk?" Suara makku membuyarkan lamunan. Kepalanya yang terlihat sementara tubuhnya masih berada di balik pintu.
"Masuk, Mak," sahutku.
Aku mengubah posisi dengan duduk bersila menyandarkan punggung di dinding. Memakai peci tipis yang terlepas ketika berbaring tadi. Mak duduk di tepian dipan.
"Faisal---"
Mak memanggil namaku dengan tergantung. Ingin mengucapkan sesuatu. Tapi masih belum terucap.
Kutatap wajah tuanya dengan nanar. Meraih tangannya serta menempelkannya ke pipiku.
"Faisal akan mengikuti keputusan Mak saja, Mak,"