Menjadi seorang janda bukanlah mudah. Sayapku tak lagi dua, dalam menjalani kehidupan. Tempat bersandar, mengadu dan bermanja itu telah pamit terlebih dahulu. Himpitan ekonomi begitu berat, ditambah beban mental juga melanda.
Aku terus mencoba bertahan, menjadi sosok pencari nafkah demi kelangsungan hidup. Ada tiga nyawa yang harus kuhidupi. Anak yatim yang meski aku besarkan dengan menjadi sosok ibu maupun bapak bagi mereka.
Apa daya terbatas kemampuan, hidup seadanya, pas-pasan. Bermodal tenaga dan dana sedikit, aku berjualan di kantin Sekolah Dasar yang tak jauh dari rumah. Latar pendidikan yang juga rendah menjadi kendalaku untuk melamar kerja ke tempat usaha orang.
Pukul 03.00 dini hari aku harus sudah mempersiapkan segala masakan berupa lontong gulai, miso ceker dan cemilan gorengan yang akan kujual. Seharian tubuh ini bergelut dengan pekerjaan yang terkadang penghasilannya hanya seadanya. Untungnya si sulung yang telah remaja turut membantu. Sedangkan yang nomor dua, telah menginjak kelas 6 SD mengurus keperluan sang adik yang masih duduk di kelas 3.
Pandangan masyarakat terhadap janda, aku akui tatapan mereka iba. Namun, di balik itu para kaum wanita tak sedikit merasa sinis, ketakutan , kami menganggu suami mereka. Mereka kira kami berpotensi menjadi pelakor dalam rumah tangganya.