Ada luka dalam nikmat. Gula nan manis tak semua melahap. Sia-sia tiada yang peduli. Hidup seakan mati. Mengais rezeki demi rongga perut yang kosong. Siapa yang peduli, dunia abai. Kemiskinan itu nyata, kepalsuan akan kata peduli tidak sesuai realita. Berikut kisahnya.
Anak berusia sekitar 10 tahunan itu berjalan di trotoar. Panas terik tidak ia pedulikan. Matanya sayu memandang sekeliling. Baju kaos putih yang ia kenakan sudah berubah warna kekuningan dan noda hitam di beberapa bagian. Selain itu kerah bajunya juga sudah melar, posisinya miring sebelah, memperlihatkan tulang kanan selangkanya. Kedua pipi itu pun cemong dengan warna hitam. Di bahunya mengendong karung yang baru terisi setengahnya.
Langkahnya sedikit gontai, mungkin lelah berkeliling. Sedari pulang sekolah, perutnya belum terisi.
Di gubuk reot pada gang sempit tempat tinggalnya. Nek Sum menunggu. Tiada sanggup lagi menyediakan makanan untuk si Paijo. Wanita sepuh itu kini hanya bisa terbaring, ia pensiun memulung. Ia hanya menunggu detik-detik kematian menjemput. Sebenarnya Paijo tak tahu, apa Nek Sum adalah neneknya asli. Bocah itu tak pernah mendengar cerita tentang orang tua.
Anak lelaki yang sebenarnya berwajah tampan itu hanya pernah mendengar sekilas tetangga berkerumun berucap ia ditemukan oleh Nek Sum di tumpukan sampah, dalam plastik yang dikerubuni semut dan lalat. Ia tak peduli, baginya Nek Sum lah yang selama ini mengasuhnya dan keluarganya.
Sementara azan Asar pun telah berkumandang. Perut Paijo sudah meronta. Beberapa kali ia membasahi bibirnya yang kering serta berkerak mengelupas itu dengan saliva. Dahaga pun menyertai.
Ia harus bagaimana, sepersen uang ia tak punya. Hasil pungutan mengais sampah belum seberapa. Pada simpang lampu merah langkahnya berhenti.
Mata sendu itu memerhatikan sekeliling. Saat lampu merah banyak anak-anak lainnya laki-laki dan perempuan mengamen. Mereka beralih ke jendela-jendela mobil satu ke satunya lagi. Ada yang beruntung mendapat uang kecil sebelum lampu hijau menyala.
Ia memutuskan akan ikut melakukan hal serupa. Ia mulai mendatangi mobil-mobil yang berhenti. Ia berusaha menyanyikan lagu apa yang ia ingat. Pikirnya hal itu mudah, nyatanya dari beberapa pengamen lainnya datang dan mengusirnya.
"Ini wilayah kami, pergi sana, sebelum bang Tarno datang. Jika tidak habislah kau nanti!" Bentakan seorang anak lelaki jangkung dengan mata memelotot. Hanya matanya yang jelas terlihat karena semua tubuh anak muda itu bercat warna perak. Dua anak kecil yang berdiri di sisinya dan pun berpenampilan burik menganggukkan kepala.
Paijo pun memutuskan pergi dari situ. Wajah nan tirus dan pucat itu terus meringis serta memegangi perutnya. Setelah beberapa langkah berjalan. Ia coba mengais di tong sampah. Berharap ada sisa makanan yang bisa mengganjal perut yang terus menagih untuk diisi.