Lihat ke Halaman Asli

Benang Kusut Perlindungan BMI di Hong Kong

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benang Kusut Perlindungan BMI di Hong Kong

Oleh Mega Vristian

Perlindungan buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong hingga saat ini masih menjadi benang kusut yang belum jelas kapan bisa terurai. Karena kondisi tersebut, Jurubicara Asian Migrants' Coordinating Body (AMCB), Eni Lestari, Selasa (30/4) lalu dalam sebuah acara menyambut Hari Buruh Sedunia, menilai tidak ada bedanya pembantu rumah tangga (PRT) de­ngan perbudakan.

Ada sejumlah poin yang memperlihatkan bahwa ma­sa­lah perlindungan BMI perlu penanganan yang serius dari pihak-pihak terkait. Sejumlah poin tersebut antara lain terkait dengan soal mandatory live-in, jam kerja yang panjang, UU NO. 9/2004 PPTKILN, KTKLN, upah, pelarangan pindah agen, dan permanent recident.

Selama ini, para BMI di Hong Kong diwajibkan untuk tinggal bersama dengan majikan (mandatory live-in). Namun, kewajiban tersebut ternyata hingga saat ini justru menjadi sumber masalah yang memperlihatkan kurangnya perlindungan bagi BMI.

Hasil penelitian Mission for Migran Workers menunjukkan bahwa sebanyak 30 persen domestic helpers ternyata tidak mendapatkan akomodasi yang layak ketika tinggal di rumah majikan. Ada yang harus tidur di kursi, lantai, bahkan berbagi ruangan dengan anggota keluarga lainnya. Ada pula yang tidur di atas lemari, ruang tamu, atau tempat-tempat lain yang tidak layak dihuni.

Beberapa fakta menunjukkan bahwa domestic helpers harus berbagi tempat tidur dengan anggota keluarga majikan yang laki-laki dan sudah beranjak dewasa. Tentu, kenyataan ini menempatkan domestic helpers sebagai pihak yang rentan terhadap pelecehan seksual.

Adanya banyak domestic helpers yang tidak mendapat akomodasi yang layak ini berakibat banyak BMI tidak memiliki privasi yang melindungi hak-hak mereka, bahkan rawan menjadi korban pelecehan seksual.

Kebijakan mandatory live-in yang tanpa didukung dengan akomodasi yang layak bagi BMI tersebut mengakibatkan munculnya masalah lain terkait dengan perlindungan BMI. Hasil penelitian yang diungkapkan oleh jurubicara Mission for Migran Workers, Cynthia Abdon T, memperlihatkan sebanyak 46 persen domestic helpers bekerja dengan waktu yang sangat panjang. Bahkan, sebanyak 37 persen di antaranya bekerja hingga mencapai 16 jam, sedangkan 9 persen di antaranya bisa bekerja sampai 19 jam.

Fakta tersebut memperlihatkan domestic helpers benar-benar seperti budak, tidak terlindungi dari segi jam kerja.

Sudah demikian, lewat UU NO. 9/2004 PPTKILN, pemerintah Indonesia terkesan kurang serius mengupayakan perlindingan bagi BMI yang bekerja di luar negeri. Koordinator LIPMi, Sringatin, bahkan menilai banyak dari produk UU NO. 9/2004 PPTKILN yang 'melepaskan' tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya di luar negeri. Padahal, perlindungan untuk BMI mutlak dilakukan oleh negara, bukan oleh PJTKI dan agensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline