Saat ini isu tentang kekerasan seksual telah menjadi-jadi. Para pelaku kejahatan seksual pun tidak mengenal tempat saat melakukan aksinya. Mereka dapat menjalankan aksi tak terpujinya dimana saja, bahkan di lingkup pendidikan. Perguruan tinggi atau kampus menjadi tempat di jenjang pendidikan yang marak sekali akan kasus kekerasan seksual. Banyak sekali kasus kekerasan atau kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan kampus baik negeri maupun swasta. Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah seorang mahasiswi.
Kekerasan seksual dapat terjadi karena budaya patriarki yang melekat dalam diri pelaku (pria ke wanita). Pelaku merasa dirinya lebih memiliki kekuasaan dan kekuatan yang dominan terhadap korban. Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki, yang harus dapat diatur sedemikian rupa, baik dalam berperilaku maupun berpakaian (Soejoeti & Susanti, 2020). Pendapat ini didukung oleh Fushshilat dan Apsari (2020) yang mengemukakan bahwa sistem sosial patriarki menimbulkan kerugian bagi perempuan karena dianggap menghalalkan pelecehan seksual. Dengan kata lain, sudah menjadi tugas perempuan untuk dijadikan sebagai objek fantasi laki-laki.
Setelah menjalankan aksinya, pelaku kejahatan seksual cenderung akan mengancam korban apabila mengadu ke pihak lain. Pelaku bahkan mengancam akan mencelakakan korban. Oleh sebab itu, banyak korban yang tidak mampu untuk angkat bicara pada kasus yang dialaminya. Mereka cenderung memilih diam karena takut akan ancaman pelaku. Jangankan dibela, mereka justru lebih takut menjadi bahan omongan, mendapat hujatan bahkan dijauhi orang-orang terdekat ketika korban menceritakan pengalamannya.
Berdasarkan banyaknya laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Puspeka Kemendikbud Ristek) mensosialisasikan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi melalui sebuah film berjudul “Demi Nama Baik Kampus”. Film berdurasi 32 menit 16 detik ini digarap untuk mensosialisasikan layanan baru yang diberikan oleh Puspeka Kemendikbud Ristek, tidak lain dan tidak bukan adalah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Hal tersebut sesuai dengan amanat yang diberikan oleh Kemendikbud Ristek melalui Permendikbud No.30 Tahun 2021, yaitu setiap kampus memiliki satgas yang dapat melakukan pengawalan sehingga kampus dapat menjadi lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan juga tanpa kekerasan seksual.
Alur Film “Demi Nama Baik Kampus”
Film pendek yang digarap oleh Puspeka Kemendikbud Ristek tersebut sukses meraih perhatian dan respon positif dari masyarakat. Film tersebut menceritakan tentang kasus kekerasan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswa bernama Sinta yang diperankan oleh Laras Ardhia saat ia sedang berkonsultasi ke dosen pembimbingnya bernama Arie yang diperankan oleh Bismo Satrio. Akan tetapi terdapat kejanggalan saat proses bimbingan tersebut, Arie meminta Sinta untuk dapat melakukan bimbingan di kampus pada malam hari. Sinta mengiyakan permintaan tersebut, ia berpikir bahwa dosennya pasti sangat sibuk di siang hari. Bimbingan skripsi awalnya berjalan mulus, hingga tibalah saatnya ketika Sinta ingin berpamitan pulang, Arie mencoba merayu Sinta. Sinta ketakutan dan pamit ingin pulang. Alih-alih diizinkan pulang, Arie justru malah menyerang Sinta dan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya tersebut. Tidak berhenti di situ saja, Arie juga mengancam jika Sinta mengadu pada orang lain, ia tidak akan meluluskan studi Sinta dan ia juga mengancam akan menghancurkan masa depannya.
Semenjak mengalami kejadian tidak mengenakkan tersebut, Sinta depresi berat. Ia tidak menghadiri perkuliahan selama beberapa hari, ia juga tidak berkomunikasi dengan siapapun, hanya mengunci diri di kamar seorang diri. Ia stress dan takut akan ancaman dosennya. Hingga akhirnya datang seorang teman Sinta bernama Abi. Sinta menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya. Kemudian Abi menyarankan agar Sinta mengadu pada rektor kampusnya. Sayangnya, justru rektor tersebut malah membela Arie, karena latar belakang Arie sebagai dosen favorit di kampusnya. Rektor kampus itu terjebak dalam lubang sandiwara Arie, Arie mengatakan justru Sinta yang telah merayu Arie agar mendapatkan nilai yang bagus.
Sinta pun mencoba memperjuangkan keadilan yang menjadi haknya. Ia hampir menyerah karena sempat menemui jalan buntu. Apalagi kasusnya semakin membesar ke publik. Akhirnya Abi menyarankan Sinta untuk menemui Satgas PPKS yang baru terbentuk di kampusnya. Tahap demi tahap dilewati Sinta untuk turut mengungkap kebejatan yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya. Singkat cerita, setelah memperjuangkan kasusnya yang dibantu oleh Satgas PPKS, Sinta berhasil memenangkan kasusnya, dan pelaku diberikan sanksi yang setimpal.
Film pendek ini memberikan gambaran tentang cara menjadi pendamping korban yang ideal. Sahabat Sinta yaitu Abi yang diperankan oleh Anne Yasmine digambarkan sebagai sahabat sekaligus pendamping yang baik bagi penyintas kekerasan seksual seperti Sinta. Dilihat dari judulnya, penonton bisa tahu bahwa banyak orang yang rela menyudutkan korban kekerasan seksual demi menjaga nama baik kampus. Hal tersebut bisa menjadi pengingat bahwa pendampingan terhadap penyintas kekerasan seksual mutlak dilakukan agar ia tetap kuat secara mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H