Lihat ke Halaman Asli

Prophetic Parenting Communication

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Prophetic Parenting Communication mungkin adalah istilah yang terbilang baru dalam dunia komunikasi, meskipun secara makna sebenarnya sudah sering didiskusikan dalam forum akademik atau forum umum lainnya. Secara sederhana, prophetic parenting communication dapat kita pahami sebagai komunikasi orang tua yang berprinsip pada sifat-sifat kenabian.

Mengapa topik ini penting untuk dibicarakan karena komunikasi sendiri adalah bagian yang sangat krusial dalam kehidupan ini. Bahkan, tanpa menafikan hal lain, bisa dikatakan bahwa dunia akan terasa hampa tanpa komunikasi. Pidato presiden SBY didepan para menterinya adalah proses komunikasi. Seorang yang melambaikan tangan saat akan berpisah dengan sahabatnya adalah proses komunikasi. Pun tangis seorang bayi yang terlahir kedunia ini dan belaian seorang ibu kepada anaknya adalah proses komunikasi. Begitu dekatnya komunikasi dengan hidup kita hingga komunikasi seringkali di anggap sepele. Bahkan bagi sebagian orang, komunikasi tidak perlu dipelajari karena telah menjadi tabiat alamiah seorang manusia. Namun apakah sesederhana itu kita memandang komunikasi?

Jika kita flash back kebelakang, pada saat perang dunia II. Terdapat bukti bahwa kekeliruan dalam menerjemahkan pesan yang dikirimkan pemerintah Jepang menjelang akhir PD II boleh jadi telah memicu pengeboman Hirosima. Kata mokusatsu yang digunakan Jepang dalam merespon ultimatum AS untuk menyerah diterjemahkan oleh Domei sebagai “mengabaikan”, padahal arti sebenarnya adalah “kami akan menaati ultimatum Tuan tanpa komentar”.(Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar:ix). Kesalahan penerjemahan tersebut berakibat jatuhnya bom dikota Hirosima. Itu hanyalah salah satu fakta sejarah yang terjadi akibat kegagalan komunikasi. Tetapi berdampak besar bagi dunia.

Komunikasi adalah suatu proses yang berkesinambungan. Dalam artian, komunikasi yang dilakukan hari ini akan mempengaruhi proses komunikasi selanjutnya. Seorang yang sejak kecil dididik dengan perkataan yang kasar dan keras akan menjadi pribadi yang kasar dan keras pula. Milton, seorang ahli psikologi mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak meramalkan masa dewasa, sebagaimana pagi hari meramalkan hari baru. Ahli psikologi lainnya, Sigmund Freud telah meneliti tentang kesulitan penyesuaian kepribadian. Kesulitan tersebut menurutnya dapat dilacak sampai kesuatu pengalaman menyenangkan dimasa kanak-kanak. Beberapa penelitian setelah Fruedpun membenarkan hal tersebut. Salah satunya adalah Erikson yang menerangkan bahwa apa yang akan dipelajari seorang anak tergantung pada bagaimana orangtuanya memenuhi kebutuhan anak tersebut akan makanan,perhatian, dan cinta kasih. Sekali ia belajar, sikap demikian akan mewarnai persepsi individu akan masyarakat dan suasana sepanjang hidup. (psikologi perkembangan jilid 1:26).

Namun sangat disayangkan, sering kita temui pola asuh orang tua yang otoriter. Orang tua memegang otoritas penuh atas anak-anaknya. Tak jarang terjadi, seorang anak harus berangkat pagi-pagi kesekolah, belajar, kemudian kembali kerumah, mengerjakan PR, mengikuti les tambahan, istirahat dan dimalam haripun anak tersebut masih harus tetap belajar untuk mempersiapkan pelajaran keesokan harinya. Tak ada waktu untuk menikmati masa kanak-kanak seperti teman-teman sebayanya yang masih bisa bermain bersama di tepi pantai, bermain bola, ataupun permainan sejenisnya. Artinya, ada kebahagiaan anak-anak tersebut yang diambil oleh orang tuanya. Dampak psikologis dari anak-anak tipe ini adalah menjadi seorang yang introvert, atau tertutup dan bisa jadi terjerumus kepada hal-hal yang negatif seperti narkoba, dan lain sebaginya.

Hal-hal demikian tidaklah positif baik dari kacamata sosial maupun agama. Kisah demikianpun tidak perlu terjadi jika para orang tua kita memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip komunikasi profetik. Salah satu prinsip tersebut adalah humanisme. Meskipun belum melakukan pengkajian secara mendalam terhadap prinsip komunikasi kenabian ini, secara sederhana, penulis memahami humanisme sebagai proses pemanusiaan manusia. Memanusiakan manusia artinya memperlakukan seseorang selayaknya dia sebagai seorang manusia. Tak terkecuali anak-anak. Anak-anak bukanlah barang yang bisa seenaknya diatur oleh orang tuanya. Anak-anak tidak berbeda dengan orang dewasa yang ingin dihargai, ingin di dengarkan keluh kesahnya, ingin diperlakukan tanpa mengintervensi.

Atas dasar itulah maka komunikasi orang tua dengan berprinsip pada sifat-sifat kenabian sangatlah penting untuk dipelajari dan diaplikasikan, sehingga proses komunikasi tersebut dapat melahirkan manusia yang benar-benar manusia.(By: megafirmawanti)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline