Lihat ke Halaman Asli

Di Mong Kok Derita Itu Bermula

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan itu tiba-tiba terdiam. Tapi aku berharap dia masih mau meneruskan ceritanya. Berkali-kali jemarinya merapikan helai-helai rambut yang menyembul dari jilbab hitamnya. Mukanya pucat. Mungkin karena kurang tidur.

Kuletakkan kembali alat perekam di hadapannya. Sekilas dia memandangnya. Duka membayang di wajahnya. Bibir keringnya kemudian bergerak, melanjutkan kisahnya.

"Aku sempat berpikir dia bukan manusia. Ia tidak punya hati. Masak tega menjualku!" ucapnya geram. Tangannya meninju bangku panjang yang kami duduki. Kupeluk bahunya untuk sekadar meredam emosinya. Air matanya menderas. Dia terisak pelan, nyaris tak terdengar.

"Lelaki itu tiba-tiba menindih dan memperkosaku. Aku berusaha memberontak dan melawan. Tapi dia begitu kuat. Semakin aku berontak, dia kian bergairah. Dia itu binatang!"

Kupeluk tubuhnya. Aku tak tega melihatnya begitu sedih.

"Istirahatlah!" kataku. "Tak usah bercerita lagi. Besok saja. Jika pikiranmu sudah tenang, kita lanjutkan lagi," ujarku.

"Dia itu gila!" lanjutnya. "Gila! Dia bukan manusia! Tapi iblis!"

Pecah sudah isaknya menjadi tangis. Suara tangis itu menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di dekat kami. Tapi dia tak peduli.

Untuk beberapa saat kubiarkan tangisnya keluar. Satu bungkus tisu segera berpindah ke tempat sampah setelah berubah menjadi kepalan-kepalan bola kertas yang meresap air matanya.

***
Aku mengenal perempuan itu saat membeli gelang giok mainan di Jade Market, Hong Kong. Saat itu dia duduk sendirian, menangis di sebuah bangku taman di depan Temple Jordan. Tempat itu menghadap gedung Henry G Leung Yau Ma Tei Community Center. Merasa sesama dari Indonesia, aku beranikan diri menyapanya. Dari situ aku mulai mengetahui penderitaannya.

Panggil saja Suniarti, bukan nama sesungguhnya. Ia berumur 28 tahun. Berasal dari Grobogan, Jawa Tengah. Seperti cerita kebanyakan perempuan dari tanah air, Suniarti terpaksa merantau ke Hong Kong karena tekanan ekonomi. Suaminya yang buruh tani tak mampu menopang seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi si Upik, permata hatinya, sudah waktunya masuk sekolah. Sudah tentu, sebagai orang tua yang baik Suniarti harus menyiapkan tabungan demi kelangsungan sekolah Upik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline