Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/ 2002 tentang persyaratan air bersih haruslah meliputi tidak berbau, tidak berasa, berwarna jernih atau tidak keruh, tidak terdapat atau terbebas dari logam berat maupun mikroorganisme bersifat patogen yang dapat membahayakan bagi tubuh kita sehingga air yang kita gunakan dapat dikatan "aman" serta tidak tercampur dengan tinja. Masyarakat pada umumnya selain menginginkan akses air bersih yang tidak tercemar oleh mikroorganisme patogen dan tinja manusia, masyarakat umum juga ingin mendapatkan akses sanitasi yang baik dan merata secara maksimal di seluruh wilayah. Akses sanitasi yang buruk dapat menyebabkan masalah yang besar, biasanya masyarakat luas juga ingin memiliki sanitasi yang layak supaya tidak menimbulkan penyakit selain itu juga sanitasi yang baik akan memiliki manfaat yang penting bagi aktivitas kegiatan masyarakat sehingga mampu mempengaruhi untuk hidup yang lebih sehat dan memiliki sifat yang peduli dengan lingkungannya.
Namun permasalahan yang terjadi saat ini adalah terjadinya penurunan kualitas air bersih dan terjadinya pencemaran air bersih serta akses sanitasi yang buruk akibat akivitas manusia dalam kebiasaan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) maupun membuat sanitasi yang langsung dibuang kedalam badan sungai. Menurut hasil survey kualitas air atau SKA 2015 khususnya di daerah Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta masyarakatnya masih tinggi dalam melakukan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) disungai dengan hasil sebesar 2,9% lebih tinggi di bandingkan dengan kabupaten lainnya yang berada di daerah D.I.Yogyakarta. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat khususnya di daerah wilayah pedesaan atau daerah Sleman Utara masih minim atau kurangnya kesadaran akan hidup sehat dalam kebiasaan BAB di WC.Perilaku kebiasaan dalam BABS tersebut akan berdampak pada pencemaran Escherichia coli yang terdapat pada feses atau tinja manusia didalam air sungai, air tanah serta dapat tercampur dengan air sumur sehingga akan menyebabkan masalah yang serius seperti dapat menyebabkan penyakit salah satunya adalah diare, sehingga harus segera ditangani dengan baik supaya masyarakat di daerah pedesaan tidak terserang Water Bond Disease atau WBD yang dimana penyakit tersebut di sebabkan dari konsumsi air yang telah tercemar feses atau tinja manusia.
Dalam penanganan kebiasaan BABS sebaiknya harus diawali dari masyarakat yang peduli akan lingkungan serta harus dilakukan dengan kesadaran diri sendiri tentang betapa bahaya yang di timbulkan bagi masyarakat luas. Tidak hanya itu saja, sebaiknya masyarakat di pedesaan Sleman juga menerapkan perilaku hidup sehat guna mengurangi terpaparnya kontaminasi E.coli dengan dilakukannya pengolahan air seperti merebus air hingga mendidih sebelum dikonsumsi, maupun kebiasaan dalam mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar serta melakukan kebiasaan BAB di atas jamban. Selain masyarakat melakukan perilaku hidup sehat tentunya juga peran pemerintah daerah kabupaten Sleman sangat penting dan juga harus mengimbangi atau memfasilitasi dari segi struktur dan infrastruktur dalam pembuatan fasilitas WC umum bagi masyarakat yang tidak memiliki WC pribadi sehingga dapat lebih mudah menekan kebiasaan BABS disungai serta dilakukannya sosialisasi langsung dengan masyarakat sekitar sungai agar tidak terjadi lagi kebiasaan BABS.
Oleh karena itu, peran pemerintah daerah Sleman dalam menyikapi kebiasaan masyarakat BABS harus segera dikendalikan dan sistem sanitasi yang kurang mewadahi harus segera ditangani dengan membangun infrastruktur fasilitas karena pemerintahan pusat menargetkan pada tahun 2020 Indonesia akan menuju akses universal dalam sistem sanitasi yang baik dan ketersedian air bersih yang mewadahi sehingga seluruh masyarakat dapat rata keseluruh pelosok secara maksimal serta memiliki sistem sanitasi yang layak bagi warga Sleman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H