Lihat ke Halaman Asli

Penghujung Waktu

Diperbarui: 20 November 2016   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saat cahaya jingga menyeruak di balik kusen tua jendela kamarku, aku selalu merasa bahwa, Tuhan, inilah akhirnya. Gaun putihku jadi berwarna sedikit kekuningan, kuning pucat yang menyedihkan. Lipatan-lipatan kecil terlihat di beberapa bagian. Sesuatu yang terjadi karena aku terlalu lama duduk disini, sesuatu yang tidak akan kusukai untuk memeluk kekasihku. Sedangkan potret ibu ayahku memuram seiring dengan tenggelamnya sang bintang barat. Menarik tinta hitam tumpah ruah di langitku. Oh, langit biruku yang malang, maafkan aku... maafkan aku...

Selimut katun tebal tak mampu menyembuhkanku malam itu. Kurasa aku akan mengalami hipotermia hebat. Selain hitam rambut sepunggungku dan coklat kayu jati ranjangku, semuanya adalah putih pucat. Suhu dingin membuat kulitku sepucat gaunku, juga selimutku, dan sprei sutraku. Sudah kuputuskan bahwa ini adalah peraduan terakhirku, tempatku mati dan dibangkitkan kembali. Lalu mati lagi, dan dibangkitkan lagi. Hingga akhirnya aku tidak mati, tetapi juga tidak hidup. 

Aku bernafas lemah, menangis mengasihi takdir tragisku sambil memandangi kerlip kunang-kunang di balik jendela sana. Kuning, kuning terang yang menyilaukan. Aku bahkan tidak punya lampu disini. Semuanya gelap. Lemari kadang bisa terlihat seperti monster, atau hanya seperti lemari, atau juga seperti malaikat maut yang ingin menyiksaku. Aku sangat takut, tapi aku telah terbiasa dengan ini. Sedangkat potret itu tenggelam sama sekali dalam hitam, tak sudi memandang tubuhku yang hina. 

Dewa tidur meniupkan mantranya padaku, membiarkanku lelap dalam mata sembabku, juga tubuh kurus keringku. Beberapa kali aku berharap bahwa dia akan meniupkan sedikit lebih banyak mantranya padaku. Aku berharap aku bisa tidur selama seminggu atau dua minggu, lalu terlahir kembali sebagai bayi mungil yang bahagia di ranjang mungilnya. Memiliki kulit putih yang sesungguhnya, bukan putih pucat seperti kembang es yang tidak berharga.

Oh, jiwaku! Betapa malangnya dirimu, betapa sialnya diriku. Terkurung di ruangan empat kali lima meter ini sendirian, Menunggu sang maut mengakhiri penderitaan ini, dan memulai penderitaan lainnya. Selamat tinggal tubuhku, selamat tinggal diriku. Membusuklah di kedalaman laut, agar tak ada seorang pun yang tahu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline