Lihat ke Halaman Asli

Medy Budun

Alumni Magister Administrasi Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat

Krisis Identitas Generasi Muda Paser Ancam Punahnya Bahasa Paser

Diperbarui: 28 Juli 2021   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak Dayak Paser era 7o-an (Dokpri)

Bahasa adalah jati diri bangsa. Demikian yang diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Apa itu jadi diri bangsa? Dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa milik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa jati diri dapat disebut juga identitas yang merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang atau suatu bangsa. Oleh sebab itu bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri si penuturnya. Demikian pula halnya dengan Bahasa Paser adalah merupakan simbol jadi diri orang Paser itu sendiri.

Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 652 bahasa daerah. Karena itu menempatkan Indonesia sebagai pemilik jumlah bahasa daerah terbanyak kedua didunia setelah Papua Nugini.

UNESCO membuat mapping bahasa daerah didunia dengan mengelompokkan dalam 6 kondisi, yaitu:

  • Safe (Aman): Bahasa diucapkan oleh semua generasi, ditularkan antar generasi dengan tidak terputus.
  • Vulnerable (Rentan): Kebanyakan anak berbicara bahasa tersebut, tetapi terbatas pada domain tertentu saja (misalnya hanya dirumah).
  • Definitely endangered (Pasti Terancam Punah): Anak-anak tidak lagi belajar bahasa tersebut sebagai bahasa ibu di rumah
  • Severely endangered (Sangat Terancam Punah): Bahasa dituturkan hanya oleh kakek-nenek dan generasi yang lebih tua. Sementara generasi orang tua mungkin memahaminya namun mereka tidak membicarakannya kepada anak-anak atau di antara generasi mereka sendiri.
  • Critically endangered (Kritis): Pembicara termuda adalah kakek-nenek dan lebih tua, dan mereka berbicara bahasa tersebut hanya sebagian dan jarang.
  • Extinct (Punah): Tidak ada lagi penuturnya

Dari data mapping @2021 UNESCO terdapat 43% dari +/- 6500 bahasa didunia dalam kondisi terancam punah, bahkan diantaranya 10 bahasa daerah di Indonesia yang sudah Punah, 30 bahasa daerah dalam kondisi Kritis, 19 bahasa daerah dalam kondisi Sangat Terancam Punah, 31 bahasa daerah dalam kondisi Pasti Terancam Punah, dan 57 bahasa daerah dalam kondisi Rentan. Sehingga total 147 bahasa daerah di Indonesia yang kondisinya rentan hingga sudah ada yang punah. Kondisi ini didominasi bahasa daerah di wilayah Indonesia bagian timur dan tengah termasuk Kalimantan.

Berdasarkan penelusuran penulis sendiri yang saat ini tinggal di kota Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan terdapat satu bahasa daerah yang Terancam Punah di kabupaten ini yaitu bahasa Abal yang dituturkan oleh orang Dayak Abal atau orang Paser menyebut mereka sebagai Paser Aba yang mendiami sebagian wilayah Kecamatan Haruai. Penutur bahasa Paser Aba ini yang tersisa hanya generasi diatas orang tua saja namun itu pun sudah sangat jarang bisa ditemui karena rata-rata mereka justru menggunakan bahasa Banjar untuk berkomunikasi dalam lingkungan komunitas sendiri. Generasi mudanya sudah tidak menggunakan bahasa Paser Aba lagi bahkan mereka sudah meleburkan diri kedalam suku Banjar dan berbahasa Banjar.

Penulis sebagai asli orang Paser dari garis keturunan kedua orang tua merasa kawatir kondisi ini akan terjadi juga di Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara, kampung halaman penulis sendiri di Kalimantan Timur. Fenomena yang tampak dipermukaan saat ini menunjukkan tanda-tanda kondisi Bahasa Paser sudah masuk fase Rentan (Vulnerable), sebagian fase Pasti Terancam Punah (Definitely endangered) atau bahkan sebagian lagi pada fase Sangat Terancam Punah (Severely endanger).

Fakta ini justru kebalikannya dengan warga pendatang yang sudah berpuluh tahun menetap bahkan banyak yang lahir dan besar dikampung Paser masih mengenal dan fasih menggunakan bahasa daerah asal mereka. Tidak sedikit orang Paser justru mampu menggunakan bahasa daerah pendatang untuk berkomunikasi dengan mereka. Ini kondisi yang terbalik dengan yang penulis alami selama puluhan tahun bahkan lebih dari separuh umur merantau dikampung orang dan perjalanan ke beberapa daerah di Indonesia dan luar negeri dimana penduduk setempat lebih dominan pengaruhnya dibanding pendatang, bukan kembalikannya. 

Dibeberapa kantor pemerintahan di Paser, kita lebih sering mendengar orang berbicara bahasa Banjar, Bugis dan Jawa ketimbang bahasa Paser. Bukan maksud penulis untuk rasis akan tetapi bentuk keprihatinan, selain mungkin karena dikantor-kantor pemerintahan memang didominasi para pendatang, akan tetapi itu bukanlah masalah seperti contoh di Kalimantan Selatan penulis saksikan sendiri ada bermacam-macam etnis dikantor pemerintahan seperti Jawa, Batak, Bugis, Dayak dan sebagainya tapi mereka semua memakai bahasa Banjar.

Dibeberapa kampung penulis temukan generasi paling muda sudah tidak lagi tertarik menggunakan bahasa Paser sebagai bahasa komunikasi melainkan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan generasi orang tuanya sudah jarang menggunakan bahasa Paser dalam berkomunikasi dengan sesama angkatan generasinya sehingga yang tersisa generasi kakek - nenek atau diatasnya saja yang masih konsisten menggunakan bahasa Paser, itupun sebagian hanya terbatas di angkatan generasinya saja. Kepada generasi dibawahnya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline