Regatn Tatau atau dalam dialek orang Dayak Paser menyebutnya Rekan Tatau, sesuatu yang mungkin asing bagi sebagian orang diluar kerumpunan Luangan. Kalimat tersebut bahkan juga ada disematkan pada rumah adat di Penajam Paser Utara (PPU) yang diberi nama Kuta Rekan Tatau. Penggunaan nama pada rumah adat khas Paser tersebut tentu bukan sembarangan, ada nilai historis berdasarkan sejarah asal usul orang Paser yang dulu nenek moyangnya tinggal di Kuta Rekan Tatau yang berpusat disekitar Gunung Lumut, suatu negeri yang makmur pada jamannya dipimpin oleh Nalau bergelar Raja Tondoi yang mana kemudian keturunannya berdiaspora di 3 (tiga) provinsi meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah membentuk koloni-koloni baru dengan menyebut diri mereka berdasarkan tempat tinggal dan dialek bahasa menjadi orang Paser, Benuaq, Bentian, Deah, Abbal, Lawangan, Taboyan / Tewoyan, Dusun Witu Ma’ai, Dusun Malang dan juga disinyalir Tunjung dan Kutai (dari keturunan Pangkun dan Kundung saudaranya).
Kali ini penulis bukan membahas tentang asal usul nama tersebut, tapi tentang sebuah kekawatiran dari kalangan komunitas penulis sendiri membayangkan bagian sisi hitam kota kosmopolitan akan terbawa sampai ke negeri Rekan Tatau yang menimbulkan bencana bagi komunitas, bukan lagi kemakmuran seperti yang diharapkan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, belum menjadi kota besar saja, sudah banyak konflik atas kerusakan lingkungan dan konflik agraria yang terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan pemilik konsensi tambang, perusahaan kayu dan perusahaan perkebunan kelapa sawit bahkan beberapa kali juga terjadi dengan warga pendatang. Begitu juga isu lain yaitu terkait dengan sumber daya manusia lokal yang memang diakui masih kurang siap bersaing dengan para pendatang khususnya dalam hal mendapat kesempatan berusaha dan kesempatan pekerjaan lebih-lebih nanti ketika 2 juta pendatang baru yang dengan segudang keahlian dan pengalaman tentu akan semakin berat bagi komunitas asli.
Tentang akan adanya perubahan besar pada negeri Rekan Tatau memang ada diramalkan oleh para leluhur yang selalu diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi namun penulis pun tidak menyangka jika ramalan tersebut akan berwujud sebuah Ibu Kota Negara. Penulis masih ingat sekitar tahun 1979 ketika almarhum ibu penulis melakukan sempuri (menceritakan pesan-pesan leluhur) dalam Bahasa Paser berbunyi, “keo anta jeman yo denia taka (Rekan Tatau) endo rame diang tatau, boyan-boyan keti karang Laq ampe lati alas tana bawo” yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, berbunyi: “akan tiba masanya negeri kita Rekan Tatau menjadi ramai dan makmur, jalan-jalan akan dibuat seperti sarang laba-laba sampai kedalam hutan dataran tinggi pegunungan”. Diceritakan juga dalam sempuri lain, mungkin terjadi sekitar abad ke-14 saat para Penggawa pulang berlayar dari misi mencari raja membawa delapan blingkis (bingkisan). Dari delapan blingkis tersebut hanya tersisa satu yang dapat dibawa lalu dibuka di negeri Rekan Tatau yang kemudian diyakini leluhur setelah itu, bahwa ketika blinkis tersebut dibuka disuatu tempat, maka tempat tersebut menjadi negeri yang kaya dan makmur. Lalu masa kini, tiba saatnya keputusan Presiden Jokowi menjadikan negeri Rekan Tatau sebagai pusat pemerintahan dengan konsep smart city membuat komunitas kembali mengingat dan menghubungkan akan hadirnya Ibu Kota Negara tersebut dengan ramalan para leluhur. Respon komunitas menjadi campur aduk antara bangga, suka cita dan rasa was-was tentang perubahan yang akan terjadi apakah kemakmuran itu juga menjadi bagian masyarakat asli atau tidak. Dalam berbagai diskusi topik ini yang paling hangat dibicarakan di berbagai group-group media sosial.
Menanggapi fenomena tersebut, penulis mengajak komunitas untuk memahami bahwa kehidupan tidak terlepas dari perubahan. Sebagai contoh, sejarah mencatat wilayah Paser berstatus kewedanaan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan hingga 1959 yang kemudian mengalami perubahan masuk kedalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur lalu menjadi Kabupaten yang maju dari sebelumnya. Sama halnya negeri Singapura bernama Temasek yang dulu adalah sebuah kampung nelayan lalu berubah menjadi negara dan kota yang makmur dan nyaman dikunjungi bahkan Singapura telah menjadi negara maju sebagai pelopor industri dan jasa di Asia Tenggara. Lalu apakah kemudian orang asli Temasek punah atau pergi meninggalkan Singapura, tentu saja tidak!. Mereka maju bersama membangun komunitas hingga menjadi salah satu negara terkaya didunia. Terlepas dari rasa kawatir yang ada, penulis pun mendambakan negeri Rekan Tatau nanti tidak seperti Jakarta yang sekarang akan tetapi sama seperti yang dialami Temasek menjadi kota moderen dan makmur sebagaimana ramalan leluhur sebelumnya. Kekawatiran adalah sesuatu yang wajar namun bukan dengan mengambil sikap melawan arus karena kita tidak bisa sepenuhnya membendung perubahan yang terjadi disekitar kita. Oleh sebab itu pilihannya hanya satu, kita harus mengambil sikap adaptif dan tidak boleh larut dalam pikiran dan pusaran perubahan tersebut agar kita tidak kalah lalu punah. Perubahan adalah fenomena hidup dan kehidupan manusia yang tidak bisa dihindari (Heraclitus 544SM). Ada beberapa contoh kasus, tidak adaptif nya perusahaan raksasa komputer IBM karena tidak mengikuti perubahan pasar sehingga akhirnya bangkrut, dan musnahnya Dinosaurus karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun ada hewan purba nan kecil yaitu Upeng (Kecoa) yang bisa bertahan hidup sampai sekarang karena kemampuannya untuk beradaptasi. Oleh sebab itu jadilah seperti Upeng yang kecil walaupun komunitas kita kecil tapi ambil sikap tegap berdiri dan tantang perubahan itu dengan semangat pantang menyerah. Tanggap dan tangkap kesempatan disetiap detail perubahan yang ada. Semoga bermanfaat. Tabe!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H