Pendidikan dokter spesialis telah lama dianggap sebagai salah satu jalur pendidikan yang paling menuntut dan menekan di dunia.
Setiap tahun, ribuan individu memasuki medis dan klinis, bermimpi untuk menjadi dokter spesialis yang terampil dan berdedikasi.
Namun, di balik panggung gemerlap profesi medis, tersembunyi tantangan-tantangan yang membebani mental dan emosional bagi para calon dokter.
Perjalanan menuju gelar dokter spesialis adalah sebuah perjuangan yang tak terhindarkan. Mahasiswa kedokteran yang memasuki fase spesialisasi harus siap menghadapi beban akademik yang luar biasa, tekanan klinis yang tak kenal lelah, dan harapan yang kadang-kadang terasa mustahil untuk dicapai.
Mereka belajar untuk menghadapi situasi darurat, memutuskan kehidupan dan kematian, dan menghadapi tantangan yang kompleks dalam upaya menyelamatkan nyawa.
Namun, di tengah-tengah segala ambisi dan semangat yang membara, ada bayang-bayang yang mengepung: tingkat depresi yang meningkat dan budaya perundungan yang merajalela di dalam lingkungan kedokteran.
Tidak jarang, mahasiswa kedokteran dan dokter yang sudah berpraktik merasa terjebak dalam labirin yang gelap, tanpa jalan keluar yang jelas.
Tingkat depresi yang tinggi di kalangan dokter dan calon dokter bukanlah rahasia lagi. Studi-studi telah menunjukkan bahwa tekanan yang tak terelakkan dari pendidikan medis dapat menyebabkan stres yang kronis dan gejala depresi yang signifikan.
Bahkan, sebagian besar dokter yang mengalami depresi cenderung tidak mencari bantuan atau dukungan, karena takut akan stigma dan konsekuensinya terhadap karir mereka.
Hal ini menciptakan lingkaran setan yang berbahaya, yang mana penderitaan terus berlanjut tanpa penyelesaian yang jelas.