Lihat ke Halaman Asli

Kekerasan Terhadap Perempuan di Sektor Publik

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13476081471603759188

Center for Population and Policy Studies

Gadjah Mada University

*Sebuah makalah yang ditulis oleh Peneliti PSKK UGM, Susi Eja Yuarsi. Pembahasan topik makalah ini disampaikan dalam seminar atau diskusi bulanan PSKK UGM pada 23 November 2000.

Susi Eja Yuarsi

Pendahuluan

Masalah kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol. Bukan saja disebabkan makin beragamnya kasus kekerasan yang dialami perempuan, namun intensitasnyapun makin mengkhawatirkan. Kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai belahan bumi dan pada umumnya si pelaku adalah laki-laki. Di Amerika Serikat misalnya, laporan C.Everett Kopp pada tahun 1989 menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh pembunuhan terhadap perempuan dilakukan oleh laki-laki. Di Bosnia, sedikitnya 20.000 perempuan Bosnia diperkosa oleh tentara Serbia, dan di India, terjadi 11.252 pembunuhan yang berkaitan dengan mas kawin dalam tiga tahun terakhir (Jurnal Perempuan, 1999: 25).

Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan pun tampak semakin meningkat baik ragam mau pun intensitasnya. Data dari Mitra Perempuan menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus perkosaan (Arivia, 1998: 7). Sejauh itu, perhatian terhadap kasus tindak perkosaan belum begitu maksimal. Penanganan terhadap kasus perkosaan masih kurang serius karena hukuman yang diberikan kepada pelaku dirasa masih terlalu ringan. Bahkan untuk penanganan kasus perkosaan massal yang terjadi pada bulan Mei 1998 pada masa peralihan kepemimpinan di Indonesia masih belum jelas arahnya. Meskipun berbagai pihak, termasuk pihak luar negeri telah memberi tekanan yang besar untuk penanganan terhadap masalah tersebut. Akibat belum adanya penanganan yang tuntas serta hukuman yang "cukup adil" bagi para pelaku, peristiwa perkosaan makin membuat perempuan mengalami ketakutan dan ketidaktentraman.

Budaya patriarkhi sebagai budaya yang berpusat pada “nilai laki-laki” merupakan basis bagi suburnya perilaku bias jender (Bhasin, 1996: 1). Perilaku tersebut, pada gilirannya, menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif dan marginal dan oleh karenanya dapat dikendalikan. Pengendalian tersebut dapat berupa pembatasan ruang sosial (social space), penetapan posisi dan perilaku. Budaya patriarkhi yang berbasis pada relasi jender lebih banyak terjadi di sektor domestik dan mendapatkan perluasan jangkauan di sektor publik manakala akses kaum perempuan juga terbuka. Pada batas tertentu, kekerasan akan muncul manakala timbul suatu anggapan bahwa perempuan melampaui “batas pengendalian’ kultural yang telah ditetapkan.

Kekerasan bukan hanya menjadi monopoli bagi perempuan yang berasal dari masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, namun juga terjadi pada masyarakat dengan sistem kekerabatan bilineal atau bahkan matrilineal. Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa menganut sistem kekerabatan bilineal. Walau sistem kekerabatan dirunut dari kedua garis keturunan, namun bukan berarti hak-hak perempuan "telah" sebanding dengan hak-hak laki-laki. Masyarakat Jawa pada kenyataannya masih didominasi oleh sistem patriarkhi yang cenderung meminggirkan posisi perempuan. Di dalam masyarakat tersebut perbedaan norma-norma yang diberlakukan bagi laki-laki dan bagi perempuan juga terlihat jelas. Perempuan umumnya memperoleh rambu-rambu yang jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Akibatnya, kedudukan dan peran laki-laki cenderung lebih dominan.

Di sisi lain, Yogyakarta telah lama menyandang predikat kota pelajar yang menjadi barometer perkembangan pendidikan di Indonesia. Jikalau pendidikan dianggap sebagai salah satu faktor determinan modernitas maka dapat dikatakan bahwa rigiditas budaya, utamanya yang tidak kondusif terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan egaliter, akan terkikis. Asumsinya, semakin terpelajar suatu masyarakat makin tinggi kesadaran dan penghargaan terhadap orang lain, termasuk terhadap kaum perempuan. Berangkat dari kompleksitas dari kondisi di atas, maka dilakukan suatu penelitian untuk mempetakan serta mengidentifikasi masalah kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Korban Tindak Kekerasan

Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan seksual maupun non-seksual dialami oleh hampir semua perempuan, baik yang bermukim di kota maupun di desa. Hal ini setidaknya tercermin dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap sebanyak 542 responden. Dari jumlah tersebut semuanya pernah mengalami tindak kekerasan, entah kekerasan seksual ataupun kekerasan non-seksual. Sebagian besar perempuan bahkan mengalami berbagai macam bentuk dan jenis kekerasan. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang tampaknya harus dihadapi oleh semua perempuan.

Sumber: data primer

Kenyataan bahwa banyak perempuan yang mengalami kekerasan ini paling tidak tercermin dari banyaknya berita di surat kabar yang mengekspose mengenai kasus kekerasan. Banyaknya kasus yang diberitakan mengisyaratkan bahwa jumlah kasus yang tidak diberitakan jauh lebih besar. Surat kabar cenderung mengekspose kasus-kasus kekerasan yang "cukup berat”, sedangkan kekerasan yang sifatnya "agak ringan" seringkali tidak menarik perhatian para wartawan. Padahal, di luar apa yang diberitakan, kasus kekerasan terhadap perempuan sangat beragam baik bentuk maupun intensitasnya dan tindak kekerasan yang secara umum dianggap ringan kadang-kadang menimbulkan akibat yang tidak ringan bagi korban. Setidaknya ada 2 hal yang menjadi penyebab tidak tereksposenya kasus-kasus tindak kekerasan ringan. Pertama, karena kasus semacam itu tidak menarik pembaca sehingga secara komersial berita tersebut tidak menguntungkan media massa, dan ke dua karena pihak korban sendiri tidak menganggap perlu mengungkapkan peristiwa tersebut kepada wartawan.

Walaupun selisihnya kecil, tetapi tampak bahwa perempuan kota cenderung lebih banyak mengalami tindak kekerasan seksual, sedangkan perempuan desa lebih banyak mengalami tindak kekerasan non-seksual. Keberadaan pornografi di satu pihak ikut menumbuhkan sikap permisif dalam seks, sedangkan di pihak lain membentuk persepsi yang mendorong berkembangnya agresi seksual. Selain itu, pornografi juga membentuk persepsi dalam diri perempuan terhadap seksualitasnya dan adanya komodifikasi seksual menjadikan perempuan sebagai obyek seks (Siregar, 2000: 3). Lebih maraknya kasus pornografi bisa merupakan salah satu penyebab kasus kekerasan seksual lebih banyak terjadi di perkotaan. Oleh karena secara umum pornografi lebih marak terdapat di perkotaan, maka masyarakat kota pun relatif lebih permisif dibandingkan dengan masyarakat desa dan sebagai akibatnya, kekerasan seksual lebih banyak terjadi di kalangan masyarakat kota.

Terdapat kecenderungan bahwa perempuan dengan karakteristik tertentu lebih banyak mengalami tindak kekerasan seksual, misalnya untuk wilayah perkotaan, perempuan yang berusia dewasa (25-35 tahun), bekerja, dan perempuan belum kawin merupakan kelompok yang paling rentan terhadap masalah kekerasan, sedangkan untuk perdesaan, perempuan muda (< 25 tahun), berstatus tidak kawin, dan berpendidikan tinggi yang mempunyai kecenderungan untuk mengalami lebih banyak tindak kekerasan. Pengalaman terkena tindak kekerasan non-seksual tampaknya tidak secara umum terkait dengan karakteristik tertentu dari korban, namun terdapat indikasi bahwa adanya harapan mengenai perempuan yang ideal merupakan salah satu penyebab munculnya masalah tersebut.

Status perkawinan tampaknya juga menjadi salah satu faktor penyebab perempuan terkena tindak kekerasan. Pada jenis kekerasan tertentu, pelaku mempertimbangkan ada tidaknya suami, bahkan tidak adanya suami tidak jarang menjadi salah satu penyebab perempuan terkena tindak kekerasan, misalnya pada kasus dicemooh. Pada kasus tersebut, hal yang menjadi penyebab seseorang dicemooh antara lain adalah karena mereka belum bersuami pada usia tertentu atau karena mereka berstatus janda. Status janda selain mengundang komentar tidak mengenakkan juga seringkali mengakibatkan munculnya pelecehan seksual. Walaupun dalam penelitian responden yang berstatus janda cukup sedikit, yaitu 6 orang (1,1 persen) dari seluruh responden, namun apa yang diungkapkan oleh mereka yang berstatus janda tampaknya bisa memberi gambaran mengenai kesulitan yang mereka hadapi akibat status mereka sebagai janda.

Asih, seorang janda menuturkan bahwa sejak suaminya meninggal, ia sangat sering mengalami gangguan dari para lelaki. Beberapa lelaki mencoba merayunya untuk dijadikan istri. Walaupun secara tegas Asih menolak, namun pria-pria tersebut tetap memaksakan kehendak mereka, bahkan ada di antaranya yang melakukan pelecehan dengan memegang pantat, payudara serta bagian tubuh lain. Perlakuan para pria pada waktu dia masih bersuami dan pada waktu berstatus janda dirasakannya sangat berbeda.

Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh beberapa responden lain yang juga berstatus janda. Mereka pada umumnya merasakan bahwa status janda tampaknya dipandang rendah oleh masyarakat dan laki-laki cenderung lebih berani melakukan tindakan kekerasan, terutama kekerasan seksual pada saat mereka tahu bahwa perempuan yang akan dijadikan sebagai korban berstatus janda. Hal ini tampaknya terkait dengan adanya pendapat bahwa perempuan adalah makhluk lemah sehingga perlu pendamping dan tidak adanya pendamping dianggap sebagai peluang bagi pelaku untuk melakukan pelecehan seksual terhadap janda. Di samping itu, tampaknya ada kecenderungan menganggap bahwa janda lebih membutuhkan "pelindung" dibandingkan dengan perempuan lajang sebab mereka pernah memilikinya. Anggapan tersebut menimbulkan adanya kecenderungan untuk menggoda janda.

Perbedaan pengalaman terkena tindak kekerasan tingkat sedang antara perempuan kota dan perempuan desa cukup mencolok. Dalam hal ini, perempuan kota cenderung jauh lebih banyak mengalaminya. Lebih longgarnya norma-norma dan tingkat permisivitas masyarakat kota tampaknya sangat berpengaruh terhadap intensitas kekerasan. Kekerasan seksual ringan tampaknya masih dianggap belum cukup untuk menunjukkan dominasi laki-laki sehingga lakilaki merasa perlu untuk "meningkatkan" level kekerasan tersebut untuk mengekspresikan dominasi tersebut. Hal ini tampak sangat kontradiktif karena perempuan kota di satu sisi dianggap lebih maju dibandingkan perempuan desa, baik dari segi pendidikan maupun aktivitas yang mereka lakukan, namun di sisi lain sebenarnya perempuan kota justru ditempatkan secara lebih subordinatif. Kecenderungan itu tercermin dari munculnya tindakan laki-laki kota yang secara lebih demonstratif dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Selain mengalami kekerasan seksual dengan berbagai tingkatan, perempuan juga mengalami berbagai jenis kekerasan non-seksual, baik kekerasan fisik maupun non-fisik. Perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 9,3 persen, sedangkan yang mengalami kekerasan non-seksual non-fisik sebesar 95,8 persen. Pelaku tindak kekerasan non-seksual ini bukan hanya laki-laki, namun juga banyak dilakukan oleh perempuan. Untuk jenis kekerasan tertentu, misalnya fitnahan, cemoohan, dan penipuan, perempuan justru menjadi pelaku utamanya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap adanya tindak kekerasan karena mereka menjadi sasaran bagi laki-laki dan perempuan, sedangkan laki-laki pada umumnya "hanya" menjadi sasaran bagi laki-laki lain.

Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Perempuan

Pelaku tindak kekerasan seksual terhadap perempuan hampir semuanya laki-laki, sedangkan untuk kekerasan non seksual pelakunya bisa laki-laki atau perempuan, atau keduanya. Selain itu pelaku kekerasan dapat orang yang dikenal korban (bahkan mempunyai hubungan dekat) ataupun tidak dikenal. Untuk kasus kekerasan seksual, sekitar 60 persen pelakunya adalah orang tak dikenal, sedangkan untuk tindak kekerasan non-seksual, 78,6 persen dilakukan oleh orang yang dikenal. Temuan ini tampak tidak relevan dengan argumen bahwa kekerasan seksual yang dialami perempuan ternyata banyak dilakukan oleh orang dekat atau orang yang dikenal.

Penelitian yang dilakukan oleh Kalyanamitra di tahun 1999 misalnya, menemukan bahwa dari 31 kasus, 22 (70,9 persen) di antaranya dilakukan oleh orang yang dikenal (Farha, 2000: 45). Perbedaan ini dikarenakan temuan pada umumnya mengacu pada kekerasan publik dan domestik sehingga ditemukan lebih banyak orang dikenal yang melakukan tindak kekerasan, sedangkan pada penelitian ini hanya difokuskan pada kekerasan publik yang tidak memasukkan kasus kekerasan yang antara pelaku-korban terdapat hubungan ataupun ikatan keluarga dan perkawinan.

Tempat Terjadinya Tindak Kekerasan

Faktor lingkungan menjadi pendukung utama tindak kekerasan terhadap perempuan. Meskipun ada potensi baik dari si pelaku maupun korban, akan tetapi jika situasi lingkungan tidak mendukung maka tidak akan terjadi tindakan kekerasan. Kasus-kasus kekerasan, baik kekerasan seksual maupun non seksual yang menimpa perempuan kota maupun desa sebagian besar terjadi di tempat umum seperti di jalan, pertokoan atau pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, ataupun kendaraan umum.

Laki-laki tampaknya merasa tempat umum adalah yang paling aman untuk melakukan keisengan menggoda perempuan sehingga mereka lebih banyak melakukannya di tempat umum. Mereka beranggapan di tempat tersebut sedikit kemungkinannya untuk dikenali dan bertemu kembali dengan korban sehingga seolah-olah tidak ada konsekuensi yang harus ditanggung. Kecenderungan laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual di tempat umum juga didukung oleh kondisi masyarakat sekitar yang seolah-olah mendukung tindakan tersebut. Banyaknya orang yang beranggapan bahwa pelecehan seksual merupakan hal yang biasa makin mempersubur munculnya kasus-kasus tindak kekerasan lainnya. Suasana ramai dan ketidakpedulian antara pengunjung satu dengan pengunjung lainnya mengakibatkan tempat umum bukan hanya menjadi tempat yang paling banyak dipilih para pelaku untuk melakukan tindak kekerasan seksual pada perempuan, namun suasana seperti juga dianggap cukup aman untuk melakukan tindak kekerasan non seksual seperti penjambretan dan pencopetan.

1347609239138305269

Sumber: data primer

Di samping tempat umum, tempat tinggal korban merupakan tempat ke dua terbanyak perempuan mengalami kekerasan seksual. Hal ini mengisyaratkan bahwa tempat yang semestinya merupakan 'kekuasaan' dan tempat berlindung bagi perempuan pun ternyata tidak menjamin perempuan terbebas dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Di desa, situasinya bahkan lebih buruk lagi karena rumah justru menjadi salah satu tempat rawan terjadinya kasus-kasus pelecehan seksual. Beberapa perempuan mengemukakan bahwa rumah mereka (lebih-lebih jika perempuan tinggal sendirian) merupakan tempat yang rawan bagi terjadinya tindak kekerasan seksual.

Kepedulian Masyarakat

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam berbagai kasus tindak kekerasan, kepedulian masyarakat terhadap masalah tersebut sangatlah kurang. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghindarkan perempuan dari berbagai tindak kekerasan mengakibatkan makin suburnya tindak kekerasan yang terjadi. Berbagai faktor menjadi penyebab ketidakpedulian masyarakat, di antaranya adalah adanya anggapan bahwa tindak kekerasan (khususnya kekerasan seksual) merupakan masalah biasa dan bukan suatu hal yang melanggar norma. Selain itu ada anggapan bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu manifestasi dari sifat laki-laki yang memang suka iseng dan bentuk ekspresi yang wajar dari ketertarikan laki-laki terhadap perempuan. Adanya anggapan tersebut mengakibatkan munculnya kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu kasus kekerasan terhadap perempuan perlu segera dicari cara penanganannya mengingat makin meningkatnya intensitas dan levelnya.

Membawa kasus kekerasan non-seksual, terutama kekerasan yang menyangkut masalah finansial seperti penipuan uang dan perampokan kepada pihak yang berwajib telah banyak dilakukan. Namun upaya untuk membawa kasus kekerasan seksual, baik kekerasan ringan, sedang, maupun berat kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini ke aparat hukum belumlah ada. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab perempuan korban tindak kekerasan tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib, pertama, adanya kekawatiran bahwa selain korban akan mendapat aib (karena telah mengalami tindak kekerasan), juga adanya kekawatiran bahwa akan terjadi ketidakharmonisan antara korban dengan keluarga (terutama suami), antara korban dengan keluarga pelaku, atau antara pelaku dengan keluarganya, ke dua, tidak diketahuinya saluran ataupun proses yang mesti ditempuh, dan ke tiga, tidak adanya keyakinan dalam diri korban bahwa kasus kekerasan akan tertangani secara adil.

Kepustakaan

Abrar, Ana Nadhya, 1998, Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Analisis Isi Surat Kabar, Yogyakarta, PPK-UGM dan Ford Foundation.

Arivia, Gadis. 1998. “Logika Kekerasan Terhadap Perempuan”, dalam Jurnal Perempuan, edisi 09. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Bhasin, Kamla, 1996. Penggugat Patriarkhi, terj. Kalyanamitra. Yogyakarta: Bentang.

Farha, Cici, 2000, Perkosaan Terhadap Perempuan, Disampaikan dalam seminar nasional 27 - 29 Juli 2000 yang bertema Islam, Seksualitas, dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta, PSW IAIN dan Ford Foundation.

Koop, Everett. 1999. Jurnal Perempuan, edisi 09. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Siregar, Ashadi, 2000, Pornografi dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Disampaikan dalam seminar nasional 27 - 29 Juli 2000 yang bertema Islam, Seksualitas, dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta, PSW IAIN dan Ford Foundation.

============

*Anda pun bisa mengakses makalah-makalah dari para peneliti PSKK UGM di website kami berikut ini: http://cpps.or.id/page/diskusi_dan_seminar.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline