Drs. Sukamdi, M.Sc. Peneliti Senior PSKK UGM / Dosen Fakultas Geografi UGM
Salah satu berita yang menjadi perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia saat ini adalah tentang rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Pemerintah berargumentasi bahwa jika harga BBM tidak dinaikkan maka akan membebani APBN dan sekaligus sebagai penyesuaian harga BBM di dunia yang melambung.
[caption id="attachment_213009" align="alignright" width="300" caption="Sticker bagi kendaraan yang tidak menggunakan BBM bersubsidi. Harapannya, sticker ini menjadi alat bantu bagi masyarakat untuk turut serta mengawasi penggunaan BBM bersubsidi. (dok. infopublik.kominfo.go.id)"][/caption] Alasan lainnya adalah bahwa selama ini subsidi terhadap harga BBM telah salah sasaran karena dinikmati sebagian besar oleh penduduk klas menengah ke atas. Barangkali argument ini dapat diterima dalam konteks pemikiran penyelenggara Negara. Tetapi berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya adalah kenaikan harga BBM selalu disertai dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan lebih umum lagi biaya hidup akan melonjak dan rakyat kecil menjadi korban.
Persoalan kemiskinan di Indonesia bukan hanya terbatas pada penduduk miskin saja, tetapi juga penduduk hampir miskin yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga BBM merupakan salah satu faktor yang dapat membuat penduduk hampir miskin terjun bebas menjadi penduduk miskin. Dapat diperkirakan jika dilakukan survey untuk menghitung jumlah penduduk miskin sebulan setelah kenaikan harga BBM, maka jumlah penduduk miskin akan dua kali lipat.
Untuk antisipasi hal ini pemerintah telah mempersiapkan empat skema bentuk kompensasi kenaikan harga BBM, yaitu bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada rumah tangga miskin, penambahan subsidi siswa miskin, penambahan jumlah raskin, subsidi pengelola angkutan public. BLSM yang dulu dikenal dengan BLT akan diberikan kepada kurang lebih 18,5 juta KK dengan jumlah Rp 150.000 per bulan selama Sembilan bulan. Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, 30 juta penduduk miskin, ditambah 30 juta penduduk hampir miskin, dan 14 juta nelayan. Program ini akan dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur perdesaan yang dananya mencapai Rp 20 triliun, untuk menjamin keberlangsungan pendapatan penduduk miskin dan hampir miskin. Dilihat dari bentuk subsidinya, program pemerintah ini mungkin akan dapat menghambat laju pertumbuhan penduduk miskin. Akan tetapi ada beberapa persoalan yang perlu dikritisi.
Pertama, program sejenis yang telah dilakukan beberapa tahun yang lalu terbukti rawan dengan permasalahan, misalnya salah sasaran, moral hazard, dan berpotensi memunculkan konflik. Beberapa penelitian ketika BLT beberapa tahun yang lalu digulirkan memperlihatkan bahwa 20-30 persen bantuan diterima oleh yang tidak berhak. Hasil ini bahkan tidak hanya berlaku terbatas untuk BLT tetapi juga bentuk kompensasi yang lain. Setiap kali ada bantuan / kompensasi selalu memicu munculnya kelompok yang merasa berhak memperoleh kompensasi meskipun tidak masuk dalam criteria atau bentuk moral hazard yang lain, misalnya pemotongan bantuan. Konflik yang muncul diakibatkan oleh karena ketidak puasan penduduk terhadap ‘keadilan’ pembagian kompensasi juga bukan cerita yang baru.
Kedua, ketika kelompok penduduk hampir miskin menjadi target group, pertanyaannya adalah apakah saat ini kita mampu mengidentifikasi siapa yang termasuk dalam kelompok tersebut, yang oleh Hatta Rajasa diklaim berjumlah 30 juta, sama dengan penduduk miskin? Saya mengkhawatirkan bantuan yang akan digulirkan nantinya akan menambah kompleksitas persoalan terutama yang menyangkut salah sasaran serta konflik horizontal yang pada saat ini sudah merebak di banyak daerah. Akarnya sama, bahwa semua orang ‘merasa’ berhak memperoleh bantuan karena mereka juga terkena dampak negative dari kenaikan harga BBM.
Untuk itu jika harga BBM memang dinaikkan dan pemerintah memberikan kompensasi sebagaimana tersebut di atas, maka sejak awal perlu ada antisipasi agar dampak negatif dari program tersebut dapat dihindari atau diminimalisasi. Karena sampai sekarang sekam yang ada hanya tentang bentuk program, mekanisme bagaimana program akan dilaksanakan dan menghindarkan dampak negatifnya belum dibahas secara serius.
(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 15 Maret 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H