Lihat ke Halaman Asli

Prof. Dr. Masri Singarimbun: Generasi Pertama Antropolog Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13463751201179362829

Prof. Dr. Masri Singarimbun atau yang akrab dipanggil Prof. Masri, mempunyai nama kecil Matahari. Beliau adalah seorang pakar antropologi sosial dan ahli studi kependudukan. Beliau juga pendiri sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (1973 – 1983). Pria kelahiran Karo, Sumatera Utara, 18 Juni 1931 ini sudah gemar meneliti semenjak lulus dari SMA.

Bersama dengan ekonom asal Australia, David H Penny, Masri Singarimbun pernah mengambil penelitian jangka panjang. Perhatian mereka tertuju pada isu kemiskinan di wilayah pedesaan. Maka, pada 1969 mereka melakukan kajian di Sriharjo, wilayah di Imogiri, Bantul, selatan Kota Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan, angka-angka resmi pada pemberantasan kemiskinan di Indonesia pada umumnya terlalu optimis. Hasil penelitian ini lalu diangkat menjadi buku berjudul Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977).

Prof. Masri dikenal akan karya-karya penelitian dalam tema demografi sosial, antropologi, dan studi pembangunan. Di mata para sahabat, Prof. Masri adalah sosok yang energik dan antusias. Dia bahkan dikenal memiliki rasa empati kuat terhadap para kolega yang sedang tertimpa kesulitan bahkan kelompok masyarakat yang sedang dikajinya.

Pusat Data dan Analisis Tempo pernah menuliskan, setelah lulus dari SMA Negeri I Medan pada 1954, Masri mulai menjelajah banyak desa di Karo, Sumatera Utara. Di sana dia mulai mengumpulkan peribahasa, kiasan kata yang mengandung pesan mendalam dan bijak. Hasil penelitian ini lalu menjadi buku berjudul 1000 Perumpamaan Karo yang terbit di Medan, 1962.

Pada 1959 Masri masuk Fakultas Paedagogi Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Australian National University (ANU), Canberra. Disertasi berjudul Kinship, Descent and Alliance among The Karo Batak kemudian membawanya lulus mencapai gelar doktor antropologi. Sebuah disertasi yang fokus pada sosio-antropologis, studi klasik tentang sistem kekerabatan Batak Karo.

Selama sebelas tahun, Masri menetap di Australia. Di Canberra, dia juga sempat menjadi pembantu khusus Atase Militer kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Namun, akhirnya ada kerinduan untuk hidup dan mengabdi di Indonesia. Bersama sang istri, Masri berkeinginan untuk membesarkan serta mendidik anak-anaknya di Indonesia. Pada 1972, Masri kembali ke Indonesia.

Pada tahun berikutnya, yakni 1 April 1973 ia mulai mengawali karir akademisnya secara mengesankan. Saat itu dia membangun sebuah pusat studi dan penelitian di UGM bernama Lembaga Kependudukan. Pusat studi dan penelitian ini tumbuh dan berkembang menjadi salah satu pusat studi terbaik di UGM. Saat ini pusat studi dan penelitian telah berganti nama menjadi Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan (PSKK) UGM.

Pada perjalanannya, pusat studi dan penelitian ini telah menghasilkan sejumlah peneliti yang berdedikasi. Mereka mampu menggabungkan komitmen sosial dengan ketelitian ilmiah, serta membuka cakrawala berpikir. Sejumlah besar peneliti asing pun mengaku sangat terbantu dengan adanya dukungan serta baiknya infrastruktur PSKK. Di sini mereka mendapatkan tantangan intelektual serta forum diskusi yang tajam. Meski demikian, di sini mereka tetap bisa merasakan rileks dari tekanan kerja-kerja lapangan.

Selama karir penelitiannya, Masri dikenal fokus terhadap masalah kependudukan, terutama persoalan KB (Keluarga Berencana). Baginya, peran pemerintah di negara berkembang dalam menjalankan program KB sangatlah penting. Tidak seperti di negara industri maju, di banyak negara berkembang, KB belum menjadi pilihan setiap keluarga. Ini juga yang kemudian menjadikan dia penasihat pemerintah dalam upaya memecahkan masalah kependudukan.

Selain aktif dalam penelitian, Masri juga mengajar antropologi terapan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Dia seorang penulis yang aktif. Tulisan-tulisannya banyak dimuat oleh berbagai media cetak, seperti Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, hingga Tempo. Tambah lagi, karya tulis ilmiah, jurnal penelitian, hingga buku. Salah satu buku yang pernah ditulisnya, Renungan dari Yogyakarta (1992) yang dipublikasikan oleh Balai Pustaka. Buku antologi ini juga dibuat dalam versi Inggris kemudian dipublikasikan oleh Galang Press.

Buku ini sama sekali tidak bercerita tentang Yogyakarta. Buku ini justru merupakan cerita perjalanan Masri ke Bangkok, Canberra, Manila, New York, Mesir, Roma, dan India. Buku tersebut ditujukan bagi kalangan pembaca dari luar negeri yang baru hendak mengenal dari dekat kehidupan masyarakat Indonesia. Bahasanya populer, dan ringan sehingga mudah untuk dipahami.

Lepas dari itu, Masri merupakan generasi pertama antropolog Indonesia. Dia seorang ilmuwan yang sangat humanis tatkala membicarakan masalah kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, disparitas gender yang menimpa pemulung, pengamen jalanan, tenaga kerja wanita (TKW), dan buruh bangunan perempuan. Dalam setiap tulisannya pun dia senantiasa mengajak para pembaca merenungkan persoalan seperti birokrasi, ledakan populasi penduduk, kemiskinan, HIV/AIDS, korupsi, runtuhnya pilar-pilar moralitas, dan lain sebagainya. Patologi sosial yang hingga sekarang masih menelikung kehidupan masyarakat Indonesia. []

*disarikan dari berbagai macam sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline