Lihat ke Halaman Asli

Chapter 6 : Dimana Ada Kemauan Disitu Ada "Rintangan"... (Januari 50K)

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12944948631494987848

[caption id="attachment_83958" align="aligncenter" width="300" caption="sms Fara"][/caption] “Tian..gue..gue dah gak tau harus minta tolong sama siapa lagi selain ma lo...” Dahiku terlipat membaca pesan singkat yang baru saja datang. Minta tolong? Tak ada angin tak ada hujan bagaimana bisa seorang Fara mengirimkan pesan singkat beginian. Apalagi mengingat background Fara yang hebat, kecantikan yang dipadukan oleh intelektual tinggi, memiliki kenalan dari beragam kalangan dan masuk dalam golongan sangat “sejahtera” (saking sejahteranya dia memiliki beberapa apartemen, rumah mewah, dan juga mobil-mobil luxury keluaran terbaru), rasa-rasanya Fara hampir mustahil untuk masuk kedalam situasi kesulitan. Klik.....Tuuuuuuut...tuuuuuuut....tuuuuuuuuuut...tuuuuuuut... “Ti, tian...” Satu suara terdengar bergetar diujung sana. “Ada apa Fara? Kamu gak apa-apa? lagi dimana kamu sekarang?” Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi membuatku melontarkan mitraliur pertanyaan kepada Fara. “kamu...kamu bisa ke tempatku?” aneh, kenapa nada suara Fara terdengar aneh begitu. “apartemenmu yang di setiabudhi? Atau yang dimana?” “ yang disetiabudhi.. tolong..tolong secepatnya kesini...klik” Kugaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal. Astaga, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi kalau ini benar-benar kondisi darurat tak ada waktu yang boleh terbuang. Segera kusambar kunci motor dan jaket yang tergeletak di meja. Memutuskan pergi ke tempat Fara secepatnya “mau kemana bang?” Ujang, salah satu pegawai bengkelku bertanya. “Ada urusan penting! Kamu handle dulu semuanya, terutama mobil jeep diujung sana. Pemiliknya om rony” seruku yang langsung dibalas Ujang dengan acungan jempolnya. Kunaiki motor kesayanganku, memutar kuncinya, menekan tombol starter, melesat pergi sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Fara.

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

“buset, ini apartemen kenapa sudah kayak barak pengungsian bencana alam ya?”. Mataku terbelalak tak percaya. Kertas, tumpukan delivery food, pakaian berserakan dimana-mana. “tian.. makasih sudah mau datang” mataku lekat memperhatikan perawakan Fara sekarang. Kurus, gemetaran, kantung mata seakan-akan tidak tidur satu minggu, dan yang paling menyita perhatianku ialah bintik-bintik merah di lengannya. Astaga, jangan-jangan Fara......... “Fara....kamu, kamu make?” nyaris tak percaya aku katakan hal ini. Bagaimana bisa seorang Fara yang memiliki semuanya malah melakukan hal bodoh dengan menggunakan obat-obatan. Air mata mulai menggenang di sudut mata Fara “aku gak tau tian...gak tau.. sebulan yang lalu aku cuma ikut clubbing biasa... aku, rasya, mira dan beberapa teman yang lain... sampai mereka mulai mencekokiku dengan pil..seminggu.. dua minggu.. sekarang aku bahkan sudah mulai nyuntik” terisak-isak Fara menceritakan semuanya. Kupeluk tubuh Fara. Ringkih dan rapuh sekali (jauh berbeda dengan saat terakhir kali aku memeluknya), “udah... tenang.. kita fikirkan jalan keluarnya yah”. “gue gak tahu lagi tian harus minta tolong kesiapa.. teman-teman menjauh.. urusan kantor hancur.. orang-orang yang datang kesini cuma buat ngasih barang.. gue, gue capek.. gue ingin berhenti tian... gue ingin berhenti” Fara mulai histeris. “Fara Fara, lihat aku! Kita akan cari jalannya bersama.. tenang ya tenang..” kupererat pelukanku, berharap semoga dia gak lagi sakau. Kalau iya, maka semua urusan akan semakin runyam.

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

Dua jam kemudian.. Setelah berjanji tak akan pergi meninggalkan, Fara bisa kubuat tenang. Mendekam lemah terlelap dibalik selimutnya. Miris melihat keadaan seorang Fara sekarang. Bagaimana seseorang yang bisa dibilang memiliki semuanya mendadak berubah drastis 180 derajat. Hidup itu benar-benar aneh, kadang diatas kadang dibawah. Kadang senang kadang sengsara. Dan yang lebih aneh lagi ialah kondisiku sekarang ini. Bagaimana seorang yang sebenarnya tak ada sangkut paut apa-apa bisa berada dalam situasi dan kondisi begin? Kutatap Fara dengan seksama. Mencoba memikirkan dan menimbang semua hal sebelum aku benar-benar terlibat. Perkara ini tak mudah dan menyita waktu. Belum lagi mengingat janji terhadap permata yang terucap di pagi tadi. Apakah bisa aku mengatur semuanya? Cukupkah waktuku? Kugaruk kepalaku Ah bisa kacau segala urusan kalau begini. Tiba-tiba... “abang.. kalau abang bisa tolong, tolonglah.. tak perlu alasan apapun untuk menolong sesama. Tak perlu pula takut atau mengharap pamrih. Sesungguhnya orang-orang yang bisa ridho menolong orang itu disayang allah. Dan percaya kata ibu ya abang, tak ada satu pun didunia ini yang lebih berharga selain ridho sang maha kuasa”. “ibu.....??” aku terhenyak. Celingukan melihat keadaan. Astaga, apa aku salah dengar? Suara itu memang pelan tapi aku yakin itu benar-benar suara ibu. Kuusap mukaku, apa aku cuma berhalusinasi? Kebanyakan berfikir sehingga tanpa sadar mendengar suara ibu? Hening...Fara masih terlelap dibalik selimutnya. Satu menit.. lima menit... dua puluh menit... pelan tapi pasti kesadaran itu mulai terpatri. Bermula dari perkataan ibu barusan entahlah rasa-rasanya semua urusan mulai terasa terang benderang. Memang sebenarnya Fara hanyalah mantan kekasihku, tak lebih tak juga kurang. Aku pun tak memiliki “hutang” dalam bentuk apapun kepadanya. Apalagi ditambah kenyataan bahwa Fara terlibat urusan obat-obatan yang pastinya pelik, rumit, menguras waktu serta tenaga apabila aku ingin memperhatikan dan menolongnya. Jujur saja, itu semua yang membuatku memiliki rasa enggan Tapi saat seseorang yang benar-benar membutuhkan datang meminta bantuan apakah aku bisa berpaling membuang muka? Berpura-pura bahwa itu semua bukan urusanku. Maaf  bu, abangmu ini masih saja berat hati untuk menolong sesama. Ya, kalau dilihat dan dipikirkan secara dangkal memang aku tak ada kewajiban apapun untuk menolong Fara. Tapi kata-kata ibu yang menggema jelas dibenakku sedari tadi membuatku sadar. Tak perlu alasan untuk menolong, bukankah aku dan Fara juga sama-sama manusia? Punya hati punya rasa. Dan itu saja sudah lebih dari cukup menjadi alasan untukku turun tangan membantu. Tanpa perlu takut rugi, tanpa perlu mengharap pamrih. “tian....” gumam pelan fara.. “iya Fara kenapa?” “lo gak akan pergi kan?” tangan Fara gemetar memegang lenganku. Aku tersenyum. Merapihkan selimutnya sambil berkata pelan mencoba meyakinkan, “enggak akan pergi fara.. tidurlah.. badanmu butuh istirahat”

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

“Ayo teteh ngelamunin capa hayo?” Sosok kecil arum usil mengganggu permata. Permata yang sedari tadi duduk ngelamun di ruang tengah terkejut. “Arum nakal ya... sini teteh cubit perutnya” tangan permata bergerak mendekati arum “ampun teteh..ampun..teteh cih dari tadi pagi diem mulu.. gak gerak-gerak.. kan arumnya bingung” arum manyun. Dahinya mengerenyit, orang dewasa tuh aneh ya? Ngapain juga ngelamun, mending main terus ketawa-ketawa. Ah arum memang tak tau kalau semuanya terasa sangat membingungkan bagi permata. “udah arum jangan ganggu teteh permata..main aja gih ma yang lain” kang yayat yang dari tadi sibuk berkutat dengan catatan-catatannya bersuara. “iya deh iya, arum maen” arum pun menghambur ke depan panti. Suasana lengang kembali tercipta. Nyaris seluruh anak-anak panti yang lain masih kebanyakan belum pulang sekolah. Permata kembali diam. Tertunduk. Sekali-sekali menghela nafas panjang seakan-akan memiliki beban pikiran. Kang yayat memperhatikan dari mejanya, ikut-ikutan penasaran akan apa yang dipikirkan permata. “kamu kenapa ta?” pelan kang yayat bertanya. Permata menggeleng “gak ada apa-apa kok kang...” “ah, jangan remehkan akang yang sudah tua ini ta.. kalau akang boleh menerka, ini pasti ada sangkut pautnya sama Tian yah?” kang yayat merapihkan catatan-catatannya. Berdiri kemudian duduk didekat permata. Permata kembali tertunduk. Wajahnya memerah. Tampaknya pertanyaan kang yayat tadi tepat sasaran. “Tak perlu dijawab ta.. kelakuanmu sudah menjelaskan semuanya” Kang yayat menghela nafas “boleh orang tua ini memberi saran?” Permata mengangkat wajahnya yang masih memerah. “apa yang dikasih oleh sang maha besar sebenarnya ada alasannya sendiri. Entah karena kita sendiri memintanya, entah karena kita mengharapkannya, atau malah untuk menguji kita. Selalu yakin ta.. slalu yakin kalau itu untuk kebaikan kita dan jangan lupa selalu tersenyum serta berusaha sepenuh hati... jangan kebanyakan dipikirkan, tar stress gawat pula” Kang yayat tersenyum berusaha memberikan semangat kepada permata “kalau ada apa-apa jangan pernah sungkan untuk bercerita, mau ke akang mau ke teh lilis gak masalah.. ingat kita semua disini adalah keluarga” Pelan senyum permata mengembang “iyah kang.. maaf permata belum sempat cerita tapi permata janji akan menghadapi semuanya” “baguslah, apapun yang akan kamu lakukan tolong ingatlah bahwa kami semua akan mendukungmu dengan apa yang kami punya” kang yayat berdiri, menepuk pelan pundak permata “akang ngerjain lagi catatannya yah..” “iyah kang..permata mau nyari arum dulu.. traktir dia es krim tadi dicuekin mlulu” permata pamit keluar. Meninggalkan kang yayat yang sibuk mereka-reka apa sebenarnya hubungan seorang tian dengan permata dan apa saja yang akan terjadi kedepannya. ------------------------------------------------- p.s: setoran setelah editan, 8 halaman spasi double times new roman 12 jumlah kata 1.256

chapter 5 : Aku Tak Mau Lari Lagi...

chapter 4 : like father like son…

chapter 3 : dan dua tali takdir itu telah dipilin kembali…

chapter 2 : malam penuh doa mendesahkan namanya (cerita permata)

chapter 1 : penggalan cinta untuk seorang wanita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline