Prolog
Taukah kalian tentang kisah anak laki-laki yang tertimpuk batu? Hari itu dia sedang duduk saja di padang rumput. Suasana tenang. Angin bertiup semilir menenangkan. Ah suasana padang rumput yang menyenangkan.
Tiba-tiba anak laki-laki itu merasakan ada suatu benda keras yang menghantam kepalanya. Anak laki-laki itu blingsatan (ya iyalah, orang mana yang kena benda keras di kepala tak blingsatan bukan?). Bagian belakang kepalanya berdarah, diperhatikan lagi dengan seksama ternyata ada batu didekatnya (“nih dia biang keroknya”), namun yang jadi pertanyaan siapakah yang sengaja melemparkan batu tersebut?
Rusuhlah anak laki-laki itu mencari, dia memicingkan matanya mencari siapapun yang bisa saja melemparkan batu. Hasilnya nihil. Anak laki-laki itu mencari disekitar semak-semak, siapa tau ada orang atau hewan usil yang melemparkannya. Hasilnya kembali nihil. Maka bingunglah anak laki-laki itu, hewan bukan, manusia bukan, angin juga bukan. Kira-kira apa yang telah melemparkan batu sampai kena kepalanya?
Siapa yang bisa disalahkan? Tak ada yang bisa disalahkan karena tak ada yang kasat. Yang melempar batu, haruslah berwujud… benarkah begitu? Wujud fisik yang bisa diraba, dirasakan oleh si anak kecil, dan juga wujud fisik yang bisa berkata “Maaf”, dan menjelaskan asal muasal pelemparan batu. Suatu wujud yang bisa menjelaskan secara harfiah, gamblang, ilmiah… Semua jenis penjelasan yang bisa diserap oleh otak si anak kecil. Otaknya terbatas, tak dapat meraba di luar dimensinya.
Pertanyaan akan awal mula kehidupan
Kalau anda simak dengan seksama maka kira-kira seperti itulah yang ingin saya kupas dalam artikel ini. Coba kita perhatikan baik-baik kisah anak laki-laki tersebut dan ingat-ingatlah perdebatan lama tentang awal mula kehidupan (yang ujung-ujungnya menepi pada: ada atau tiadakah sosok Tuhan). Anak laki-laki itu adalah analogi kita selaku manusia. Siapa dan bagaimanakah cara batu itu bisa melayang itu adalah analogi atas suatu pertanyaan utama siapa pencetus dan bagaimana penciptaan kehidupan di alam semesta.
Bagi anak kecil itu yang menjadi masalah utama ialah apakah dia mau percaya kalau batu itu dengan sendirinya menghantam kepala dan membuatnya berdarah? Atau percaya ada suatu “hal” yang walau dia tidak tahu apa dan bagaimana telah menyebabkan batu itu melayang sehingga menghantam kepalanya.
Pertanyaan yang sama patut kita tanyakan kepada manusia, apakah manusia mau percaya kalau kehidupan itu terjadi secara begitu saja? Atau percaya ada suatu “hal” yang walau manusia tidak tahu apa dan bagaimana telah menyebabkan kehidupan itu ada dialam semesta? Opsi pertama adalah opsi yang meniadakan tuhan. Opsi akan kepercayaan yang sungguh nampak buta, karena manusia harus mengingat bahwa secara ilmiah pun, panca indera manusia terbatas. Bukankah jika ada gedung tinggi di depan manusia, maka manusia tak bisa melihat apa yang ada di balik gedung itu tapi itu bukan berarti bahwa di balik gedung itu tak ada apa-apa bukan begitu.
Logika manusia atau ego nya?
Dalam pertanyaan diatas jelas sudah logika apa yang ingin kita pilih bukan? Disini saya tidak mau menghakimi, saya cuma memberikan opsi logika sebagai bahan perenungan untuk anda termasuk saya selaku manusia.
Sering saya bertanya, kenapa bisa ada yang tidak percaya tuhan karena alasan tuhan itu adalah suatu hal yang “abstrak’. Tak terjelaskan dan tak terjangkau oleh indra manusia. Maka saya sering bertanya ulang, kenapa kita bisa percaya kita punya nyawa? Sedangkan nyawa itu adalah sesuatu yang abstrak juga. Mengapa nyawa dimakhluk hidup itu tidak seperti nyawa dimainan? Kenapa nyawa itu tidak bisa “dicas ulang” sebagaimana layaknya nyawa (batere) pada mainan? Arti nyawa yang sebenarnya, pencetus kerja jantung dan pembelahan sel, itu saja belum mampu terdefinisikan,
Kenapa ketika jantung manusia berhenti berdenyut, manusia bisa menjelaskan seribu satu macam penyakit yang menyebabkan jantung kita berhenti, tapi siapa yang memerintahkan jantung manusia untuk berhenti?Siapa yang berkata “Ya sudahlah, time to go?”Semua ilmuwan tak ada yang bisa menjawabnya, padahal kita semua tahu, one thing leads to another, dimana ada akibat itu ada sebab.Seorang yang menderita kanker ganas bisa sembuh dalam waktu tiga bulan, dan orang lain yang hidup sehat, bisa jatuh mendadak tak bernyawa di tengah pestanya sendiri. Kenapa bisa seperti itu?
Keseluruhan artikel ini sebenarnya mencoba mengajak merenung perihal kenapa manusia tidak mau percaya adanya tuhan. Logika kah yang dikedepankan? Logika apa?Bahwa semua itu terjadi sendiri tanpa ada pencetusnya?Apakah batu itu tiba-tiba melayang sendiri dan mengarahkan dirinya ke si anak kecil itu?Ataukah ego manusia yang diutamakan?Ego yang bergaung dan mengesampingkan fakta bahwa kita, sebagai manusia biasa, terlalu malu untuk mengakui bahwa ADA YANG TIDAK KITA KETAHUI, bahwa sesungguhnya kita TIDAK SUPERIOR seperti yang dikoar-koarkan kebanyakan orang, bahwa sesungguhnya, kita adalah mahluk lemah yang tidak mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri, apalagi pada saat baru saja dilahirkan ke dunia ini.
Selain itu saya tersenyum saat melihat suatu pemberitaan mengenai ilmuwan yang mampu menciptakan nyawa tiruan (sumber disini)
Kita semua tahu bahwa tubuh kita bisa diciptakan.Selama tubuh kita masih tersusun oleh senyawa kimia, maka pastinya bisa diciptakan.Nyawa bakteri yang disebut dalam tautan di atas, diciptakan melalui serangkaian proses kimiawi dan biologis.Tapi apa definisi nyawa sebenarnya?Jika memang benar kloning/ penciptaan nyawa itu bisa dilakukan oleh manusia – terlepas dari etika moral – mengapa sifat kloning/ penciptaan yang paling alamiah – yang jelas-jelas bisa diinduksi dan dikendalikan dengan mudah oleh para ahli kandungan - yaitu ANAK KEMBAR, tidak memiliki nyawa yang serupa?Mengapa semua orangbisa berlomba-lomba menciptakan kloning dirinya agar mereka bisa hidup selamanya, tapi mereka tak tahu kemana nyawa mereka pergi setelahnya?Terlalu banyak pertanyaan yang tidak dimengerti, dan kenapa ujung-ujungnya ditutupi dengan ego, penolakan, basa-basi ilmiah yang nggak penting?
Bagi saya pribadi, argumen TIADA TUHAN itu tidaklah valid karena menentang logika yang ada. Dan bagi saya pribadi, terlalu banyak pertanyaan yang menandakan bahwa keterbatasan manusia itu masih ada, dan ada suatu mekanisme lain di luar sana, yang menguasai segalanya, yang bisa dengan mudah menjentikkan nyawa keluar dari tubuh kita, semudah memasukkannya. Jika mekanisme ini tidak ada, maka hukum sebab-akibat, yang merupakan hukum alam paling dasar, tidak akan berlaku, dan walhasil dunia ini akan mengambang di tengah ketidakpastian, bukankah begitu?
Salam,
Median
p.s:artikel ini dibuat setelah diskusi yang sangat menyenangkan dengan salah seorang kakak (trimakasih mbak maria perdana atas diskusi dan bantuan tambahannya..hehe..gk pake bayar yah konsultasinya?hehe). untuk semua kompasianer mari direnungi dengan seksama, kalau ada hal yang kurang berkenan silahkan berdiskusi dan kita akan berdiskusi untuk memperkaya khazanah renungan..
———————————
bagi yang aktif juga di FB kalau berminat bisa join ke dua pages berikut ini :
bisa juga melihat tulisan-tulisan menarik berikut ini
@Bang Astoko Datu Harta Bangsa Dari Zaman ke Zaman
@mbak dewi solihat Kondom dan Ade
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H