Lihat ke Halaman Asli

Sekolah Anakku Hampir Roboh

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428976012369293934

[caption id="attachment_409849" align="aligncenter" width="327" caption="Pintu Gerbang MI Sirajul Huda (Dok.Pribadi)"][/caption]

Sekolah tempat anakku bersekolah sudah berusia 44 tahun. Ada enam kelas dan satu kantor guru yang berukuran tidak lebih dari empat kali lima meter, juga ada satu WC yang letaknya berdekatan dengan kantor guru. Selama 44 tahun itu baru ada satu bangunan baru berupa satu lokal berukuran enam kali tujuh meter, dan ditempati oleh kelas enam. Sementara bangunan-bangunan SD yang mengapitnya tampak anggun dengan pintu gerbang kokohnya. Bangunannya tak pernah sampai rusak, jika ada yang sedikit saja cedera, maka sudah bisa dipastikan satu atau dua hari berikutnya sudah ada mobil dinas berplat merah datang memeriksa, memotret dan dilaporkan ke atasan di Ibukota Kabupaten.

Sebelum putra semata wayangku masuk sekolah, sudah saya tegaskan kepada istriku bahwa nanti purna TK anak kami harus dimasukkan ke Madrasah itu. Awalnya istriku agak keberatan, sementara neneknya mendukung walaupun dia pensiun dari SD dekat rumahku beberapa tahun yang lalu. Namun setelah dirembukkan lagi, dan tidak ingin menjadi orang tua yang ikut mematikan sekolah tersebut maka kamipun sepakat untuk menyekolahkannya ke Madrasah yang bernama MI Sirajul Huda.

[caption id="attachment_409851" align="aligncenter" width="245" caption="Kondisi Kelas"]

14289767361383134038

[/caption]

[caption id="attachment_409852" align="aligncenter" width="327" caption="Ruang Kelas"]

14289771531893624805

[/caption]

MI Sirajul Huda adalah yayasan milik desa, bukan milik perorangan atau keluarga. Dimasa jayanya, hampir seluruh anak-anak desaku bersekolah di sana, tetua-tetua di desaku hampir semua alumni MI yang sekarang hampir roboh ini. Cerita mantan kepala sekolah yang kini sudah lama pensiun,dulu pejabat dari kabupaten kadang datang di awal tahun ajaran baru untuk meminta agar siswa dibagi ke SD di samping-sampingnya.

Kepala sekolah sudah sering sekali mengajukan proposal untuk pembangunan atau hanya sekedar rehab saja, tapi tak membuahkan hasil, Sudah disampaikan melalui anggota DPRD dari wilayah pemilihan daerah kami, entah proposalnya nyangkut dimana, tunggulah adalah kata penghibur, seakan yang kami tunggu akan segera datang besok atau paling lama lusa. Tak lupa sudah kuhubungi seorang wartawan, sudah dimintanya semua data, termasuk foto-foto sudah kukirimkan lengkap, tapi sampai sekarang belum keluar juga berita yang kutunggu, tidak jelas apa alasan wartawan itu. Seingatku dalam waktu setahun ini saja sudah empat kali kepala sekolah memphoto copy lembar-lembar proposal lengkap dengan Akta yayasan,ukuran tanah, dan antah berantahnya. tapi hingga kini sekolah anakku tetap berdiri pengkor seperti itu.

Duduk di kelas satu hanya delapan orang termasuk anakku, tujuh putra satu putri, Ingat saat pertama aku mengantarkannya sekolah dihari pertama. saat aku datang sudah enam orang wali murid yang datang dan melihat-lihat ke sekitar sekolah, berarti enam murid batinku. Karena saya juga harus sekolah, hari pertama putraku tidak kutemani. Alasanku tidak menemaninya karena guru-gurunya adalah teman-temanku dan putraku sudah akrab dengan mereka.

Dilema yang kami hadapai jika harus mengajak wali murid sumbangan adalah wali murid itu sendiri yang perlu dibiayai kerena sebagian mereka adalah petani penggarap yang menggantungkan penghasilan mereka dari hasil tahunan tanaman kopi. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka di Madrasah itu karena itulah sekolah yang paling murah di desaku. Sementara dana BOS yang diterima tidaklah seberapa karena besaran dana bos tergantung dengan jumlah murid.

[caption id="attachment_409860" align="aligncenter" width="327" caption="Satu-satunya bangunan Baru"]

1428978606679351975

[/caption]

Itulah gambaran sekolah-sekolah Agama di dusunku, Negeri Bawah Bukit. Terdapat enam Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), empat Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP) dan satu Madrasah Aliyah (setingkat SLTA) di kecamatanku. Kondisi bangunannya rata-rata hampir sama, jauh tertinggal dari bangunan sekolah-sekolah di bawah naungan diknas, yang usianya belum sepuluh tahun. Entahlah apa yang membuat pemerintah seakan tutup mata dengan keadaan ini. Saya kadang miris membaca di plang setiap bangunan sekolah-sekolah diknas yang bertuliskan pembangunan sekolah ini adalah hasil dari pajak yang anda bayarkan. Lho kami juga bayar pajak, tapi sekolah-sekolah agama kapan kecipratan pajak yang kami bayarkan?
Sumber Foto Dok.Pribadi
Salam Hangat dari Negeri Bawah Bukit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline