Lihat ke Halaman Asli

Resensi Novel 99 Cahaya di Langit Eropa

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wow, lagi! Seorang novelis baru bernama Hanum Rais telah lahir dan ikut memperkaya khasanah dunia kepenulisan di Indonesia. Penulis kelahiran Yogyakarta dan lulusan fakultas kedokteran gigi UGM yang juga anak kandung Amien Rais, bersama suaminya, Rangga Almahendra, berhasil membuat novel yang merupakan hasil dari perjalanannya di Eropa selama tiga tahun. Novel ini sekaligus bisa dicirikan sebagai novel perjalanan atau yang kerap dikenal sebagai backpacking novel.

Bagian prolog-nya saja sudah sanggup menggemuruhkan hati dengan kalimatnya yang sangat menyentuh dan puitis.

‎"Saat memandang matahari tenggelam di menara Eiffel, Katedral Mezquita Cordoba...Hagia Sophia Istanbul, saya bersimpuh. Matahari tenggelam yang saya lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun yang lalu."

Semakin saya baca, saya semakin yakin bahwa Hanum Rais dan suaminya, Rangga Almahendra, sudah masuk pada jajaran penulis yang tidak bisa diremehkan. Tidak ada satupun lembar demi lembar dalam novelnya yang tidak indah. Semuanya indah dan inspiratif. Bahkan bukan sekedar inspiratif lagi, tapi sudah melebihi ekspektasi untuk level seorang penulis pemula. Meskipun rekam jejaknya hanya pernah menjadi wartawati Trans TV yang belum terlalu lama dan kemudian memutuskan keluar dari pekerjaannya, lalu dengan ujug-ujug tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba nongol sebuah novel dahsyat berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.

Sedianya, saya akan mengulas tiga serangkai penulis muda Islam, yaitu Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia dan Helvi Tiana Rosa. Namun ketika membuka-buka novel yang ditulis oleh Hanum Rais dan Rangga Almahendra, saya sejenak melupakan ketiga penulis senior tersebut karena sudah terlanjur kepincut sama susunan kalimat yang ditulis dengan hampir sempurna.

Bayangkan lagi, tanpa cawe-cawe sebagai penulis pemula, tanpa merintis dari awal, tanpa diskusi sengit tentang sastra, seorang perempuan muda yang tidak pernah dipandang dalam panggung penulis pemula, dan tanpa ikut dalam group atau kelompok penulis seperti Forum Lingkar Pena, misalnya, Hanum Rais berhasil menghentikan detak jantung pembacanya hanya untuk mengucap syukur sambil geleng-geleng kepala bahwa masih ada penulis yang bisa menciptakan kalimat yang manis dan heroik dan mampu memunculkan sikap gairah pembacanya, hanya dari paragraf-paragraf awal.

Paragraf–paragraf awal sebuah novel menentukan bagus tidaknya sebuah novel. Biasanya dari paragraf pertama, seorang pembaca sudah bisa menduga apakah sebuah novel bagus atau tidak.

Saya jadi ingat novel Kang Abik, dalam Ayat-ayat Cinta. Paragraf pertamanya sangat indah dan menggetarkan. Pembaca, tanpa disadari, sudah langsung merasakan sensasi suasana ibukota Mesir, Cairo dan bahkan bisa merasakan perasaan dan getaran psikologis si pelakunya.

Meskipun harus diakui bahwa Hanum Rais adalah anak kandung Amin Rais dan darah intelektual mengalir deras dalam perempuan berusia 30 tahun tersebut, namun menulis sebuah novel perjalanan tetaplah tidak mudah, jika tidak dibarengi dengan kemampuan dan kecerdasan menyusun kalimat demi kalimat yang terangkai indah. Maturity dan fluidity dalam menyusun barisan-barisan kalimat patut diacungi jempol.

Menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif, Hanum Rais dan suaminya berhasil membawa pembaca untuk bisa ikut merasakan ketegangan dan gairah si penulis novel dalam perjalanan di kota-kota di Eropa, mulai dari Wina, Paris, Cordoba dan Granada (Spanyol), hingga ke Turki.

Kemudian selipan-selipan quote-nya yang merupakan sikap dan pandangannya terhadap hal-hal yang ia jumpai selama perjalanan menjadi sebuah refleksi yang menjadi ciri khas penulis backpacker. Penafsirannya terhadap jejak peradaban Islam di Eropa yang dijumpai dalam perjalanannya selama tiga tahun di Eropa, patut diacungi jempol.

Ciri khas penulis backpacker adalah melakukan traveler, mengobservasinya, kemudian melakukan explorasi, dan terakhir melakukan refleksi atas benang merah semuanya atau semacam melakukan pencarian jati diri.

Yang mengejutkan, novel 99 Cahaya di Langit Eropa, secara genuine juga menebarkan kisah-kisah langka yang jarang terkuak oleh publik, seperti misteri tentang Napoleon Bonaparte, roti Croissant, asal usul kopi, misteri tulisan kaligrafi dalam jubah raja Eropa, The Mosque Cathedral, hingga ke misteri garis imajiner “sejarah satu garis’ atau yang sering disebut dengan Axe Historique yang menghubungkan bangunan-bangunan bersejarah di Paris dengan Ka’bah di kota Mekkah.

Buku ini sudah mengalami cetak ulang yang ketiga sejak diterbitkan pada bulan Juli 2011. Dengan tebal buku 412 dan harga yang tidak terlalu mahal, Rp. 69.000,-, buku ini pantas dimiliki oleh semua kalangan. Dan saya pribadi berkepentingan dengan buku ini karena tahun 2012 adalah tahun untuk mencanangkan diri sebagai backpacker.

Salam backpacker

MD

sumber foto di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline