Lihat ke Halaman Asli

Opini Aspek Yuridis Terhadap Peredaran Obat Keras Tanpa Resep Dokter

Diperbarui: 7 Juni 2024   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Obat merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam dunia medis, digunakan oleh dokter sebagai instrumen utama dalam menunjang kesembuhan pasien. Obat keras, yang meliputi golongan narkotika dan psikotropika, memerlukan pengawasan ketat dan penggunaan yang terkontrol, sehingga penggunaannya harus berdasarkan resep dokter. Pasal 1 angak 10 Peraturan menteri kesehatan RI No 9 tahun 2017 tentang apotek bahwa Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan bagi pasien. Pada tahun 2023-2024, terjadi peningkatan peredaran obat keras secara ilegal dan tanpa resep dokter. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena melibatkan berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan dan apoteker yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan penggunaan obat sesuai aturan. Peredaran obat keras tanpa resep dokter menimbulkan risiko besar, seperti kesalahan dalam dosis penggunaan, yang dapat berakibat fatal. Efek samping dari obat keras yang tidak diawasi dengan baik sangat berbahaya, meliputi reaksi alergi, kejang, hingga overdosis yang dapat berujung pada kematian. Penggunaan obat tanpa resep juga berarti pasien tidak mendapatkan pengawasan dan konsultasi medis yang memadai, sehingga kondisi kesehatan mereka bisa semakin memburuk.

Dalam ketentuan Pasal 320 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disebutkan bahwa obat yang memerlukan resep dokter termasuk dalam golongan obat keras, narkotika, dan psikotropika. Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa peredaran obat keras harus melalui prosedur yang ketat, yaitu hanya dapat diperoleh dengan rekomendasi dari resep yang dianjurkan oleh dokter. Resep ini bukan hanya formalitas, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab medis yang bertujuan untuk melindungi pasien dari risiko yang tidak diinginkan. Tenaga kesehatan dan apoteker yang terbukti melakukan tindakan peredaran obat keras tanpa adanya resep dokter akan dikenai sanksi berat sesuai dengan ketentuan Pasal 436 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal ini menyatakan bahwa dalam hal terdapat praktik kefarmasian yang terkait dengan sediaan farmasi berupa obat keras tanpa adanya resep dokter, pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan apoteker yang melanggar ketentuan standar operasional prosedur terhadap obat keras akan dikenai bukan hanya sanksi etik, tetapi juga sanksi pidana dan denda.

Ketentuan Pasal 436 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga berfungsi sebagai langkah pencegahan untuk menghindari penyalahgunaan obat keras yang dapat membahayakan masyarakat. Adanya ancaman pidana yang tegas, diharapkan para tenaga kesehatan dan apoteker akan lebih berhati-hati dan patuh terhadap aturan yang ada. Selain itu, regulasi ini mencerminkan upaya untuk menjaga integritas profesi tenaga kesehatan dan apoteker, yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap hukum dan etika medis. Pelanggaran terhadap regulasi menunjukkan penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat dan sistem kesehatan, sehingga sanksi yang berat diperlukan untuk memastikan kepatuhan dan tanggung jawab. Dalam konteks ini, edukasi dan sosialisasi mengenai bahaya penggunaan obat keras tanpa resep dokter perlu ditingkatkan, baik di kalangan tenaga kesehatan maupun masyarakat umum. Mekanisme pengawasan dan pelaporan pelanggaran juga harus diperkuat untuk memastikan bahwa ketentuan hukum dapat ditegakkan secara efektif. Maka dengan demikian, diharapkan penerapan ketentuan Pasal 436 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dapat berkontribusi secara signifikan dalam menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta memastikan bahwa distribusi dan penggunaan obat keras dilakukan dengan cara yang tepat dan bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline