28.06.23
Sejatinya, setiap manusia terlahir sebagai seorang pengelana. Sejak jaman Adam-Hawa, manusia diciptakan sebagai sosok-sosok penjelajah. Kita tumbuh dan berkembang dalam perjalanan itu sendiri. Menjelajah kepelosok-pelosok bumi, menapaki gunung tertinggi hingga menyelami dasar lautan. Mencari tahu apa yang tidak pernah benar-benar kita tahu.
Sayangnya, acap kali kita lupa bahwa dasar seorang manusia berkelana bukan berawal dari tempat ia berdiri, menuju tujuan kemanapun ia ingin pergi. Laut-darat-udara kita tapaki. Kita tumbuh untuk menjadi pengelana yang bebas menjelajahi bumi, namun lupa yang sejatinya perlu kita telusuri adalah kedalaman diri kita sendiri. Jati diri. Melekat sebagai kesatuan utuh sejak masa ruh kita diciptakan. Paling dekat, namun terlupakan.
Berkembangnya zaman membuat mekanisme manusia juga turut berkembang. Anatomi tubuh manusia berhasil kita pelajari. Jaringan dan sel bahkan hingga DNA telah kita temui seluk-beluknya. Namun pemikiran serta perasaan manusia adalah hal yang berbeda. Kompleksitas yang ada pada dua hal itu menjelma paradoks-yang ironinya-entah bagaimana caranya agar dapat kita pecahkan. Kita terlalu berfokus pada sisi eksternal, namun lupa bahwa bagian internal tubuh kita tidak kalah penting untuk kita pelajari dan jelajahi.
Semenjak aku menemukan pemikiran ini, hingga tulisan ini aku tulis lalu kalian baca, aku masih belum menemukan arti diriku sendiri. Sebabku pelajari, semakin aku mendalami diriku, semakin tersesat dibuatnya. Menariknya, perjalanan dalam mempelajari diri sendiri menjadi moment paling dekat antara kita dengan keutuhan jiwa kita sendiri. Inilah moment di mana manusia dapat benar-benar hidup dan menjelajah.
